RAIN DROP
Friday, June 04, 2021Itaewon, Januari 2020
Lagu-lagu teratas Billbord memenuhi sudut-sudut kota Seoul. Beragam pose artis memberikan
visualisasi yang begitu menawan. Foto-foto personil grup musik memenuhi
dinding-dinding mall, menampilkan pakaian-pakaian tertutup musim dingin. Jika
musim panas datang, maka terpotonglah bagian-bagian bajunya.
Kirana tengah menghabiskan sisa waktu luangnya untuk
menikmati udara malam di sebuah tempat bertuliskan C. Through Café, ditemani secangkir latte yang ditutup krim lembut
bergambar pohon maple musim gugur.
Udara musim dingin mulai membelai kulit wajahnya. Dua tahun berlalu, tubuhnya
masih belum bersahabat dengan udara negeri Gingseng tersebut. Sepasang headset sengaja
ia pasang demi mendengarkan sebuah lagu lama yang selalu tersimpan pada playlist ponselnya. Pikirannya kian tenggelam
sejalan dengan lagu yang ia putarkan menuju sebuah pusaran usang, membentuk
sebuah kenangan lama yang sejak dulu tak pernah ia lupakan.
“Kamu menungguku, Ann?”
***
Yogyakarta, Oktober
2018
Senja di Jogja adalah sebuah kerinduan. Sebelum
senja pun, Jogja tetap menjadi sebuah tempat yang penuh dengan romantisasi tak
berkesudahan. Harmoni yang terjadi di setiap sisi Jogja adalah kedamaian yang
begitu menawan. Namun sekejap saja, Yogya terasa begitu pilu untuk seorang
Kirana.
Sore itu Kirana menemukan sang ibu berendam di
dalam bathub yang penuh dengan darah dan sabun. Begitu damai dan gembira.
Sebilau pisau yang digunakan sang ibu, kini tergeletak di bawah lantai dengan
sisa-sisa darah yang mulai mengering. Sang pemilik tubuh itu sengaja membuat sebuah
luka yang ia ciptakan menganga begitu saja, membiarkan darah-darah itu mencari
rumah baru melewati saluran air kamar mandi.
Kirana
tidak pernah tahu alasan sang ibu memilih jalan yang cukup menyedihkan untuk
menjemput maut. Yang ia tahu, semenjak sang ibu pergi seorang wanita muda dengan
pakaian tipis selalu bertandang ke rumahnya. Mencari sang ayah dan mereka
berakhir pergi bersama.
Kehidupannya berubah. Jarum jam di pergelangan
tangannya berputar dengan cepat. Bagi Kirana, malam adalah jalan terbaik untuk
pulang. Tidak ada lagi waktu malam untuk menonton acara musik atau sebuah
eksplorasi dapur demi menciptakan sebuah eksperimen manis bersama sang ibu.
Yang tersisa hanyalah kenangan, seperti grand
piano putih yang kini ditutup kain hitam.
***
Tiba-tiba saja seorang Bagaskara Pradipta masuk
dalam kehidupnya. Menyingkap seluruh gelap yang kian berkarat. Terasa ringan
dan bebas. Dipta adalah senja baru dalam dunia Kirana.
Pertemuan tak disengaja saat festival Jogja Music Week memberikan
pertemuan-pertemuan lainnya untuk mendekatkan mereka. Kini kehidupan Kirana
bukan lagi jarum jam yang kehilangan angka. Dunianya adalah merah jambu yang
merekah.
Lelaki itu menyeduhkan sebuah kopi. Bukan hitam,
namun latte. Manis dengan pahit yang pudar. Bagai arjuna yang kini menemukan
Sintanya. Dipta menjauhkan seluruh atensi Kirana pada lelaki lain. Dan
menjadikannya sebuah pusat kehidupan yang tak ingin luntur di makan usia. Dipta
memiliki segalanya. Eksplorasi akan cinta begitu merangsang. Menjadikan
sesap-sesap ciuman adalah candu yang begitu mambukkan. Hingga malam melarutkan
jiwa-jiwa rindu itu pada pertemuan-pertemuan selanjutnya, sekedar menikmati
malam Jogja yang penuh dengan ramuan rindu.
“Kamu menyukai piano?”
“Milik, Ibu. Hadiah ulang tahunnya yang ke 40. Ibu
penyuka lagu-lagu klasik, terkadang Kami menghabiskan waktu senja di sudut
ruangan ini untuk melatih vokalku.”
Grand piano berwarna putih itu membuka kembali
kenangan masa lalu Kirana. Sekilas wajahnya terlihat muram. Kain hitam itu
telah disingkap, menampilkan sebuah piano besar dengan tuts-tuts berwarna putih
gading.
Dipta menatap lekat gadis itu. Bola biru miliknya terlihat berkilat
antusias. “Kamu ingin menjadi penyanyi?”
“Tidak, Ibu memang sedikit pemaksa. Sejak kecil, Ibu
menyewa seorang guru privat untuk melatih seni musikku. Dan perlahan Aku menyukainya.
Tidak buruk juga, Aku memilih seni vokal dengan sukarela,” Kirana mengusap tuts-tuta
putih itu seakan menghitung berapa jumlahnya, “dan Aku memilih gitar sebagai
kado ulang tahunku.” Senyumnya mengembang pada sudut ruangan. sebuah gitar
berwarna putih dengan ukiran namanya tergeletak di atas sofa.
Dipta tersenyum. Lesung pipi itu menghiasi
wajahnya. Langkahnya berjalan mendekati sofa dan menarik pergelangan Kirana
untuk ikut duduk di sampingnya. “Duduklah. Saya akan membuatmu jatuh hati.”
Percaya dirinya yang begitu tinggi membuat Kirana tersenyum geli.
Sejenak lelaki itu berdeham. Jemarinya mulai
memetik sinar gitar. Sebuah lagu yang ia kenal memenuhi pendengarannya. Rain Drop. Lagu milik IU itu selalu
menjadi nada dering ponselnya. Senyumnya mengembang sempurna. Namun dalam
sekejap, senyum itu berubah tawa geli ketika lelaki itu merubah nada rendah
menjadi nada sumbang.
“Oke-oke, Saya bukan penyanyi yang baik.” suara
tawa lelaki itu terdengar bersamaan dengan jemari kurus nan panjang yang
berhenti memetik gitar.
Dahi gadis itu berkerut samar. Yang Kirana tahu,
Dipta hanya mengenal lagu-lagu lokal ataupun barat. Lagu-lagu negeri gingseng
tidak pernah hadir dalam playlist
musiknya. Seketika ucapan lelaki itu membuatnya mengangguk samar.
“Saya menyukai nada lagunya saat mendengar dering
ponselmu. Terdengar manis.”
“Dan pemilik ponselnya juga?” Pertanyaan itu lolos
begitu saja dari bibir Kirana.
“Tentu, pemilik ponsel itu mampu membuat Saya jatuh
cinta.”
***
“Ann, kamu mengenalnya?” Leila menatap sahabatnya
itu dengan ragu. Dia tahu bahwa sahabatnya itu sedang berada pada titik bahagia
karena seseorang. Itu hal yang wajar. Namun ada sedikit gumpalan yang menyeret
Leila untuk ikut campur atas kedekatan di antara keduanya.
“Kami sering berbagi. Jadi kurasa, aku cukup
mengenalnya. Kenapa, La?” Kirana masih sibuk menatap gawainya yang tidak
berhenti menampilkan sebuah notifikasi.
Leila merasa lidahnya kelu untuk berbicara, barang
sekata pun. Dia tidak mau Kirana tersinggung dengan kalimat-kalimat yang keluar
dari bibirnya. Akhirnya jutaan kalimat yang ingin terlontar, ditelannya lamat. Tentang
sikap lelaki itu. tentang sesuatu yang mungkin Kirana tidak tahu.
***
Sibuk
adalah salah satu alasan mengapa pertemuan tidak berlangsung dengan mudah.
Walaupun perhatian terhadap ruang dan waktu lolos dalam sebuah gawai, pertemuan
adalah cara terbaik untuk menjalin sebuah hubungan.
Kesibukan
Kirana sebagai representatif A&R (Artist
and Repertoire) membantunya mengobati rasa kehilangan. Kecintaan akan
sesuatu membuatnya luput untuk menatap eksistensi lain. Kasih yang kian
renggang itu. Pertemuan yang tak ingin diulang seperti dulu. Dan kejenuhan akan
seluruh komunikasi virtual membuatnya melangkah jauh.
Hanya
ada beberapa pertemuan singkat. Dipta terdengar lebih sibuk dari yang ia duga.
Semenjak lelaki itu mengatakan, “Saya tidak bisa. Beberapa masalah terjadi
akhir-akhir ini. Pekerjaan saya menumpuk. Maaf, Ann. Nanti Saya hubungi lagi. Miss, You.” ponselnya tak pernah bordering
kembali.
Tiga
bulan terakhir. Dipta selalu menghindari pertemuan baru. kejenuhan akan setiap
asumsi tiba-tiba saja terjawab ketika langit Jogja menurunkan sebuah tangis.
Begitu deras dan udara dingin menusuk kulit. Kirana masih membiarkan percikan
bening itu membasahi sepatu hingga sebagian dari celana jins miliknya. Kakinya
terpaku. Hujan menderas dengan sebuah pilu yang menebas semua merah jambu.
Pikirannya
mulai berpencar. Atensinya masih terpaku pada sebuah pertemuan baru. rindu yang
seharusnya bertemu, telah lenyap bersamaan dengan hujaman tak berbentuk. Pundak
nyaman yang terlihat teduh itu sudah berganti, menyambut rumah baru. Bagai sebuah
lagu yang ia dengarkan. Perlahan dan kian memanas. Pelukan itu melahirkan
tatapan sendu. senyum yang saling terlontar. Dan sebuah kecupan yang mendarat
pada bibir sang wanita. Mereka sepasang kekasih yang sedang kasmaran.
***
“Kita sudahi saja. Saya tidak bisa menetap hanya
pada satu titik. Mungkin kamu juga begitu.” suara Dipta terdengar begitu
tenang. Kakinya mendekati sofa hitam disudut ruang kerjanya kala gadis itu
meminta sebuah penjelasan.
“Saya menyukai Kamu. Tapi Saya juga lelaki yang
penuh gairah dan nafsu.”
Kirana masih membisu. Memorinya masih sangat
segar. Pemandangan yang kian menusuk hatinya itu kembali menyeruak. Tangannya
mengusap kasar sebulir air mata yang jatuh dari sudut matanya. Canda yang kian
menjadi candu masih bersarang di dalam dirinya. Kini, pekat malam menelan
tubuhnya.
Dipta menghela napas kasar. “Maafkan, Saya.”
Suaranya terdengar jengah. Ia tidak ingin membuang waktunya untuk mendengarkan
sebuah tangis.
***
Itaewon,
23 Januari 2020
“Aku tidak pernah menunggu seseorang.”
Tawa renyah seorang lelaki menyambut ucapannya. Sekejap
lamunan Kirana berpindah pada realita. Menguap begitu saja dan berganti dengan
wajah oriental seorang lelaki yang kini duduk di hadapannya. Wajahnya tidak
pernah menyentuh alat kosmetik seperti kebanyakan pria Korea. Garis muka yang
terlihat tegas dengan bola mata hitam itu mampu memikat sejumlah wanita.
Kirana meneguk latte miliknya. Terasa dingin. Krim
bergambar pohon maple itu sudah hancur sejak tadi. Seperti lamunannya. Seperti
pelabuhannya.
“Ares, kamu harus berhenti mengganggu—“
“Kapan kamu selesai, Ann?” Lelaki itu melipat
kedua tangannya.
Dahi kirana berkerut bingung. Apa yang lelaki itu
katakana membuatnya terdiam sejenak. Lidahnya terasa kelu untuk menyebutkan
kata ‘tidak bisa’.
Kenangan-kenangan lama di dalam otaknya terus
bermunculan. Memberikannya berpuluh-puluh kata untuk diramu menjadi sebuah
lagu. Entah syukur atau ia harus mengasihi dirinya sendiri karena semua pikiran
ini. Hayalnya selalu menyeruak. Ia berfikir bahwa Dipta akan tiba di sebuah
negara asing dan kembali bertemu dengannya.
“Pergilah, Res. Saya ingin sendiri sekarang.”
“Kapan Kamu bisa beralih? Dua tahun? Tiga tahun?
Berapa waktu yang Kamu butuhkan untuk menyelesaikan semuanya?” mata hitam milik
Ares terlihat begitu tenang berbalik dengan kata-kata yang ia ucapkan, “Kamu tidak
akan merubah apapun saat Kamu bersikukuh untuk tenggelam dalam masa lalu.” helaan
napas halus terdengar dari lelaki itu. Entah sampai kapan gadis di hadapannya
ini akan jengah dalam pusaran gelap.
“Saya di sini, menunggu Kamu.”
Ucapan lelaki itu benar. Dua tahun berlalu. Namun mengapa
hatinya masih tertutup untuk rumah baru?
Berkali-kali ia berfikir, namun benang-benang
putih yang berada di otaknya kian kusut dan tak menemukan titik terang. Hatinya
masih tertanam di Indonesia, Yogyakarta akan tetap membuatnya pulang. Hingga ia
temukan Ares. Atau lelaki itu yang menemukannya? tengah terpendam di dalam
liang penuh warna hitam. Kembali dan kembali, ia tersungkur ke dalam sebuah
pikiran-pikiran negatif. Ayahnya dan Dipta adalah segelintir orang yang
menuhankan sebuah penghiatan. Yang membuatnya kian terkubur dalam labirin tak
berpintu.
0 komentar