JEAN
Tuesday, November 10, 2020
Sore
itu, semua pekerja sibuk dengan aktivitas mereka. walaupun senja sudah
menunjukkan wajahnya, tidak ada satupun yang berhenti memompa minyak untuk
dikirimkan pada mobil-mobil pengangkut.
“Kita
hanya dimanfaatkan. Lihat saja karyawan-karyawan itu hanya bersantai.
Seharusnya gaji kita bertambah baik, bukan semakin terjepit!” dengus Jean
dengan kesal. Hari itu, sudah tiga mobil pengangkut yang ia isi, dan kakinya
mulai keram karena berdiri terlalu lama.
“Kita
hanya buruh. Kau tau itu.” ujar Ryan sambil membenarkan letak punggungnya yang
sejak tadi terlihat rukuk.
“Dunia
memang menyedihkan.”
“Kau
juga, Bung.” tawa Wahyu di sebelahnya terdengar renyah. Semua orang mengerti
jika Jean sudah bosan bekerja pada perusahaan yang terus melegasisasikan korupsi.
Selama tiga tahun terakhir sejak beberapa pemimpin buruk menggantikan tampuk
kepemimpinan perusahaan, tidak ada yang hidup bahagia selain karyawan dan
bos-bos tak waras.
Perusahaan
dengan seenak-enaknya meninggikan harga minyak disaat harga minyak dunia naik.
Sedangkan ketika harga minyak dunia kembali turun, perusahaan hanya sedikit
menurunkan harga minyak negara.
Pemerintahan
tidak pernah mengambil tindakan. Pekerja serabutan yang membanting tulang,
karyawan yang menuai hasil sedangkan direktur dan pejabat perusahaan lainnya
bermandikan emas di dalam bathubnya.
“Bukankah
pintar tanpa mementingkan orang lain sama saja dengan kebodohan? Aku merindukan
pak Bambang yang sudah terlelap di dalam kubur.” Keluh Jean sambil mengusap
peluh yang mengalir di dahinya. Kakinya mencoba untuk melompati satu tanki ke
tanki yang lain.
“Pergi
saja masuk kuburannya, siapa tau kalian bersalaman sambil tersenyum
menyeringai.” Timpal Ryan. Pantatnya sudah beristirahat di salah satu kursi
kayu nan lapuk. Tinggal menunggul ajal saja kayu itu rubuh.
Debuman
keras membuat ketiganya tergelak. Dengan cepat Ryan berlari. Suara itu bukan
berasal dari kursi kayu yang tidak pernah diganti perusahaan, tetapi Jean di
balik tanki yang terjatuh. pompa minyak panas hampir menghantam dirinya saat
Wahyu melakukan kesalahan. Lelaki itu tidak meletakkan pompa dengan baik.
Beberapa minyak panas menyembur dari salah satu sumur. Tidak sampai di situ,
nyawa Jean berada di ambang kematian.
Keesokan
harinya, tidak ada yang berani menanyakan kabar Jean. Wahyu tidak terlihat
lagi. Ryan menutup mulutnya sejak pertemuannya dengan karyawan cabang.
Saat
itu, Jean sudah berada di rumah sakit. Ryan dipanggil menuju ruangan
berpendingin, walau tak sedingin kutub utara. Langkahnya sedikit gentar. Sambil
menerka apa yang akan terjadi selanjutnya, helaan napas membuat jantungnya
sedikit tenang.
Pintu
terbuka. seorang lelaki paruh baya dengan setelan jas yang terlihat mahal
menyelimuti tubuhnya. Di atas meja granit terdapat tanda pengenal bertuliskan
nama seseorang bertitle panjang nan mengesalkan.
Beberapa
percakapan ringan dan sapaan sopan mengalur begitu saja di samping Ryan yang
sudah duduk di atas sofa empuk yang tidak mungkin membuat pantatnya keram.
“Saya
harap kamu bisa membantu, tuan Ryan.” Senyum lelaki itu mengembang. Sebuah
amplop cokelat besar nan tebal mampu membuat akal sehat Ryan untuk bungkam dari
pembicaraan peristiwa mengerikan itu.
Awalnya
malaikat bertandang. Ia pedulikan. “Tidak, Pak Argan. saya hanya meminta
jaminan perusahaan atas kecelakaan kerja teman saya.” ujarnya sambil menahan
nafsu akan tindakan iblis yang menghendaki amplop itu.
Tidak
salah jika ia mengharapkannya. Ada beberapa kebutuhannya yang belum dicapai.
Mungkin bisa diraih jika tangannya menerima amplop tersebut.
“Saya
akan menghubungi pusat. Jika anda bersedia, perusahaan ini akan memberikan sesuatu
yang lebih untuk menutup nama buruknya. Bagaimana tuan Ryan?” tawar lelaki itu.
sekali lagi tangannya menampilkan sebuah amplop tebal, walaupun tidak setebal
amplop sebelumnya.
Seharusnya
Ryan bisa membantu. Toh, ia hanya bungkam. Mudah saja, dibandingkan mengarang
kejadian. Tidak akan ada yang peduli dengan Jean. Bahkan teman satu rekannya.
Karyawan cabang akan membantunya, mungkin Ryan bisa…
Meraih
amplop itu dengan segera.
Senyumnya
takzim. Hatinya berbinar cerah saat iblis bersorak-sorak dalam hening. Dendang
kegembiraan menimpa keduanya dalam sepi. Bahkan saat pintu kembali ditutup oleh
Ryan, lelaki tua yang terduduk di balik meja granit itu—memandang foto
keluarganya dengan bangga.
“Hari
ini kantungku tidak akan menipis untuk hal yang tidak berguna.” ucapnya cerah.
Wajahnya berbinar. Bahkan foto formal itu seakan menbanggakan pemimpin keluarga
mereka yang jauh dari kata bijak.
Semua
pekerja hampir menanyakan Jean yang mengalami hal buruk. Beberapa orang kembali
Ryan bungkam dengan berkata, “Kita harus jauh-jauh dari masalah perusahaan.”
Jean
masih terbaring lemah. Kejadian itu terlalu buruk untuk diulang. Ryan melihat
dengan kedua matanya saat Wahyu melakukan pekerjaannya dengan buruk. Lelaki
muda yang baru bekerja setelah masa office boy nya dihilangkan oleh perusahaan
menjadi pekerja lapangan.
Seorang
pelayan mampu bekerja seperti pekerja lapangan?
Tidak.
tentu banyak yang mengeluhkan pekerjaan Wahyu. Dan kini, Jean menuai kesalahan
Wahyu.
Tepat
saat kakinya tergelincir, pompa yang tidak sempat diletakkan dengan benar itu
menyemburkan minyak panas. Wahyu kalang kabut, saat Jean terkena percikan
minyak panas. Wajahnya melepuh dan giginya tanggal 4 sekaligus karena terjatuh
dan menumbuk besi panas.
Dan
sekarang Jean terbaring di atas kasur rumah sakit dengan diagnose corona.
Tidak
ada yang bisa menjenguknya karena diagnose tersebut. Bahkan keluarga terdekat
tidak bisa mengetahui keadaan Jean sedikitpun. Demam Jean semakin tinggi karena
giginya yang tanggal sekaligus. Perusahaan memutar balikan fakta. Pemerintah membiayai
pengobatan Jean karena diagnosanya sebagai pengidap corona.
Sebulan
berlalu, Gani terus membicarakan keadaan Jean. Seharusnya perusahaan
memperhatikan pekerjanya yang baik. Memberi kebijakan atas kecelakaan dan
bantuan finansial.
Sayangnya
harta terlalu baik untuk dibagi. Bijak terlalu jauh untuk diraih dan Jean
diujung penyesalannya telah memikirkan cara buruk untuk keluar.
Dua
bulan berlalu, Jean keluar dari rumah sakit tanpa sepeserpun biaya perusahaan. Dapat
dihitung pihak rumah sakit memberikannya pelayanan. Jean tahu, rumah sakit dan
perusahaannya sama buruk. Beberapa pasien positif corona dusta. Demi dana
pemerintah yang cair, pihak rumah sakit memberikan fakta palsu untuk menutupi
kantung dana mereka.
“Tidak
pernah. Hanya susu yang berada dimejaku. Selain itu, tidak ada lagi. itupun
sekali kulihat. Mereka sama buruknya dalam mencari penghasilan.” ucap Jean saat
tubuhnya sudah kembali duduk di dalam rumah setelah masa kritisnya.
Gani
berpikir temannya itu akan mati karena ketidakadilan perusahaan. Ternyata Tuhan
masih berbelas kasih untuk memberikannya hidup walaupun giginya sudah tanggal
empat. Minyak panas membuat beberapa bagian tubuhnya melepuh. Ryan tidak pernah
menjawab pertanyaan Gani mengenai kejadian tersebut. Alhasil, lelaki itu
selamat dengan pertanyaan beruntun yang berasal dari mulut-mulut penasaran.
“Bukankah
sejak dulu kau ingin keluar, bung? Lagi pula bekerja di sana hanya merenggut
nyawa tanpa jaminan baik.” Gian menyeruput the hijaunya sambil menyenderkan
punggung pada kursi kayu. Pertanyaannya membuat Jean terdiam gamang.
“Tapi,
keluar perusahaan juga harus sopan. Kau ini, ingin keluar tapi mogok kerja. Itu
namanya bukan keluar, tapi ingin dipecat.” Pernyataan Gani selanjutnya
menyadarkan Jean. Ia salah dalam hal ini. Mungkin perusahaan megetahui kelakuan
buruknya. Dan seluruh pekerja mengeluh karena pekerjaan mereka dua kali lebih
berat karena Jean hanya bekerja semaunya.
“Ya,
besok aku akan mengirimkan surat pengunduran diri.” jawab Jean sambil memandang
atap platfon yang terbentang putih nan lapuk diterjang jaman.
0 komentar