PHANTASIE
Sunday, October 11, 2020
Hari ini hujan
terlalu deras untuk menuntun imajinasiku melalang buana.
Awalnya aku
sendiri. Ya, hanya aku (yang bernyawa) dan halte kosong juga lembaran foto seorang
musisi tampan, jika saja seorang lelaki bermantel tidak masuk melewati atap
yang tiba-tiba terbuka.
Sungguh, itu
adalah atap yang dipaksa terbuka.
Mungkin aku
terlalu banyak menonton Avenger and The
Game atau Harry Potter tapi
lelaki yang menatapku sekarang tidak mirip dengan Iron Man ataupun karakter yang ada pada film tersebut.
***
“Kau tidak
boleh pergi lagi.” ucap lelaki bertudung. Terdengar defensif. Padahal kami baru
saja bertemu secara dramatis karena lelaki itu—Ryan membuka paksa atap halte
padahal ia bisa masuk ke dalamnya dengan pintu yang terbuka secara otomatis.
“Apakah kita bisa berhenti sebentar?” Mataku terpaku
pada sebuah kedai es krim yang terlihat ramai. “Aku lelah.” Kesalku. Kini
sepatu yang membalut kakiku sudah dipenuhi oleh debu. Dan napasku mulai
terengah.
“Tidak.”
ujarnya pelan.
Aku tidak
suka dipaksa. Mama bahkan turun tangan ketika aku malas. Tapi Ryan lebih keras
dari Mama. Dan sekarang aku lebih rindu ayah dibandingkan keduanya.
Seharusnya,
siang ini aku sudah pulang ke rumah. Bersandar pada sofa yang berada di pojok
kamar dan bermesraan dengan laptop kesayanganku.
“Sebenarnya,
Kau ingin membawaku ke mana?” tanyaku. Lalu menunjuk sebuah istal, “Ke sana?”
beralih pada sebuah kastil. “Atau ke sana?” Jemariku kembali mengarah pada
kedai lainnya yang terlihat penuh dengan es krim pajangan tanpa ada satupun
pelanggan.
“Tidak.
Tempat itu lebih buruk dari sebelumnya.” jelas Ryan. Dapat kulihat dari suudut
mataku, Ryan sedang mencari sesuatu.
Aku bukan
pengidap agoraphobia. Sejauh ini keramaian tidak pernah membuatku risih, hanya
saja lelaki ini terlalu memaksaku untuk mengikuti langkahnya.
“Ryan!” Seorang
gadis membuat padanganku teralihkan dari kedai es krim—menjadi dua mata Hazel
yang terlihat indah dibandingkan dengan mataku yang cekung disebabkan lelahnya menatap
laptop atau handphone seharian.
Tubuhku
masih terhalang Ryan. Dari balik punggung lelaki itu, dapat kudengar sang gadis
menanyakan sesuatu tentangku. Seperti pertanyaan apakah aku masih hilang atau
Ryan masih mencariku, sebelum iris kami
bertemu—oh wajahnya berubah muram.
“Kukira dia
sudah ditelan raksasa.” Bibirnya mencebik kemudian senyum miring.
Wajah Ryan
terlihat acuh, berbalik dengan gadis yang sejak tadi antuasias menyambutnya. “Di
mana bibi Ivy?”
Aku pernah
melihat kondisi ini di dalam cerpen kesukaanku. Saat seorang gadis yang mencoba
menarik tangan lelaki yang ia sukai, namun dengan cepat ditepis—olehku. Ya,
olehku. Tepat sebelum acara tarik menarik tangan—Ryan menuntunku menuju kedai
yang berada tepat di samping kami. “Kau lelah bukan? ada semangkuk es krim di
dalam sana.”
Oh, aku tidak akan berpikir dua kali untuk menolaknya.
Di dalam
kedai itu ada seorang wanita yang menyambutku dengan ramah. Ramah saja, yang
menjadi ramah sekali. Mungkin jenis ramah yang terlalu antusias untuk memeriksa
tubuhku seperti korban peperangan yang tidak diharapkan tubuhnya hilang
sebagian. “Violet!!! Kau sudah melupakan bibi?” senyumnya terlihat bahagia
bersamaan dengan pemeriksaannya yang usai. “kemana saja kau selama ini?”
Aku terlalu
canggung untuk mengatakan, “A, aku baik.”
Akhirnya
kutahu gadis bermata Hazel itu bernama Hazel. Dan wanita tua yang menyambut
kami (Aku dan Ryan) dengan ramah adalah bibi Ivy.
Hazel
menggenggam sebuah gelas berisi soda. Matanya masih menatapku nyalang. Aku tak
mengerti kenapa Hazel terlihat sangat membenciku, namun dapat kudengar
ucapannya yang mengatakan, “Violet lupa ingatan?”
Ryan
terbatuk di antara sela-sela acara meneguk air putih miliknya. Ivy terlihat
bingung dan Hazel tertawa lepas. “Aku bersyukur jika begitu. Toh, sebelum
cincin pernikahan mengikat Ryan, akan kuusahakan untuk terus merebutnya.” Hazel
mengerlingkan matanya…..
Dia
benar-benar gadis pejuang. Cinta maksudku.
Ivy membawankanku
semangkuk es krim stroberi lava dengan beberapa makanan ringan.
“Jadi,
Violet lupa kalau kalian berpacaran?” tanya Ivy. Matanya lurus pada Ryan.
Menunggu sebuah jawaban.
“Kurasa
begitu. Bahkan Violet tidak ingat namaku.”
Es krim yang
hendak masuk ke dalam mulutku tertahan. Pertanyaan itu merujuk pada Ryan—namun
aku merasa berhak untuk menjawab dengan ucapan, “Kami berpacaran?”
Tanpa disengaja
sendok itu hampir memasuki hidungku—jika saja tangan Ryan tidak membelokaan
gagangnya…
Pada mulutnya
sendiri. dan menelannya tanpa memperhatikan tatapanku yang tidak jelas
digambarkan. Ada sedikit malu dan kesal namun aku tetap diam.
“Dia lupa.
Tapi kebiasaan buruknya terlalu melekat.” jawab Ryan sambil tersenyum ke
arahku. “Makasih.”
Hazel masih
pada tempatnya. Menonton apa yang terjadi dengan bola mata yang memutar jengah.
“Apa kalian tidak bosan? Cobalah untuk putus darinya. Lagi pula Violet sudah
bertunangan. Seharusnya kalian—”
“Kau tidak
perlu memperdulikan ucapannya.“ sela Ryan sambil menatapku.
Alisku
berkerut tidak mengerti. Hingga Ryan mengatakan sesuatu, “Aku milikmu. Ya,
walaupun kau hilang ingatan, tapi bisa kita obati nanti.” sambil menghela napas
kecewa.
“Dan aku
tidak berminat untuk berpaling pada Hazel.” Ucap Ryan menyakinkan.
Dapat
kulihat lesung pipi yang tampak saat Ryan tersenyum. Alisnya yang sedikit tebal
membuatnya terlihat tegas walaupun dengan melihat tubuhnya saja, dia sudah
terlihat seperti atlit basket. Meskipun ucapannya terdengar ketus pada Hazel,
dia tetap lelaki yang ramah terhadapku dan Ivy.
Aku tidak
meminta penjelasan apapun mengenai ucapan Hazel yang mengatakan bahwa aku telah
bertunangan sekaligus mempunyai pacar. Namun kali ini aku tidak cukup canggung
untuk mencuci piring bersama Ryan.
“Ada yang
ingin kutanyakan.” Mataku terpaku sejenak pada cermin satu arah di hadapan
kami.
Beberapa detik
terurai dengan aku yang sedang mematut pantulan wajah kami berdua. Saat
kutemukan wajahnya ikut menatap apa yang kulihat. Lalu tersenyum lembut, “Tidak
ada yang melarangmu.”
Aku
menyadari sesuatu yang aneh.
Belum sempat
kuucap kejanggalan yang kudapatkan, Ryan menghentikanku untuk mengambil sebuah
piring kotor. “Jangan ambil piring itu—.” Bersamaan dengan ucapannya yang
terlambat untuk kudengar. Darah sudah segar mengalir pada sisi telapak
tanganku. “—kau bisa terluka.”
“A, aku
baik.” kataku terbata.
Ryan menarik
jariku dengan kesal. Kedua tangannya yang sempat menekan luka yang
terbuka—membuatku meringis. Matanya yang sejak tadi terlihat cemas kini berubah
menjadi sedikit lega saat jemariku sudah terbalut plester berwarna cokelat.
“Jangan ceroboh lagi. Meengerti?”
Ryan
mengalihkan perhatianku pada wajahnya—yang membuatku beralih menatap tembok
ruangan. “Eh, i-iya aku—
Tawa kecil
lelaki itu hadir saat ucapanku belum selesai. “Pipimu merah.”
Oh, aku terlihat seperti gadis yang tengah jatuh cinta.
Detik
berikutnya terdengar seperti langit runtuh. Debuman keras menusuk pendengaran.
Dinding bangunan yang sudah lapuk pun terlihat hancur sebagian. Debu-debu
memenuhi pernapasan. Dan Ryan menarikku untuk berlari menjauh.
Rasanya jantungku
berdetak lebih cepat. Pertama karena tembok besar yang runtuh itu hampir
membunuhku.
Kedua, Ryan
yang menjadikan tubuhnya sebagai shield.
Saat tembok runtuh yang seharusnya mengenai tubuhku—ia halang dengan
punggungnya sembari memelukku. Lalu kami saling bertanya, “Kau tak apa?”
Butuh
semenit penuh untuk menyadari bahwa Ryan sudah mendorong pintu belakang dan
menarik tanganku untuk sebuah rasa lega.
Cukup lega
untuk menghindari bangunan besar yang runtuh itu.
Tidak. Aku ralat,
menjadi hampir lega. Karena saat itu juga seorang lelaki menyambut kami. “Kalian
terlihat mesra sekali. Apa kau sedang menghianati tunanganmu ini, Violet?”
ujarnya sarkastis.
“Ternyata
percobaanku gagal.” Wajahnya terlihat kecewa.
Jika benar
ucapan Hazel bahwa lelaki ini adalah tunanganku. Maka dapat kupastikan ayah
mungkin terjerat hutang hingga membuangku untuk seorang lelaki tua dengan perut
buncit dan selusin pengawal yang wajahnya lebih baik daripada tuannya.
Aku tidak
pernah mengenal keduanya sebelum ini. Hingga kutanyakan pada Ryan. “Omong-omong
siapa nama tunaganku?”
“Grey.”
Jawab Ryan.
Dan aku
hanya menjawab. “Oh, namanya Grey.”
“Kau ingat
sekarang?” tanya Ryan.
‘Tidak.” Aku
menggeleng lemah dengan wajah polos yang terlihat tolol.
Jarak kami
yang cukup dekat membuat Grey mudah untuk menarik pergelangan tanganku “Biarkan
dia pergi bersamaku.” tapi Ryan mencegahnya.
Mungkin
keadaan setelahnya dapat kutebak. Jika tunanganku dan pacarku akan saling
membunuh atau berkelahi sampai ada salah satu yang tumbang.
Ternyata
tidak.
Raut wajah
Ryan yang sejak tadi menantang berubah mengeruh saat Grey tersenyum padaku seraya
mengatakan, “Menyerahlah pada takdir. Tuan Ferhar tidak akan merestui kedua
anak kandungnya menikah.”
Kurasakan Ryan
menggenggam jemariku semakin erat.
Di saat itu,
aku pun tersadar. Apa yang terpatut di dalam cermin.
Saat mataku
terpaku pada pantulan wajah kami—Ryan begitu mirip denganku. Kedua alisnya,
bibirnya, walaupun hidung kami sedikit berbeda, senyum Ryan persis dengan
senyumku.
Dan
perkataan lelaki yang mencoba menghancurkan bangunan Ivy itu benar.
Kami memang
saudara kandung.
Namun, aku
terlalu jatuh hati untuk melepaskannya. Jika saja, ada kesalahan pada ucapan
lelaki laknat itu. Jika saja, Ryan tidak terlahir sebagai saudara kandungku.
Sebelum aku
menjadi frustasi dan membunuh diri sendiri dengan anomali yang kudapatkan, Ryan
tersenyum kecil menatapku. “Sekarang, apa yang kau inginkan, Violet?”
“Membuat semua kemungkinan. Melahirkan dimensi
lainnya untuk kita berdua. Menempatkan kita pada satu kesempatan untuk
bersama.” Wajahku mengeruh. “Tapi, bukankah aturan dibuat untuk kita patuhi.
Cukup untuk di sini. kita harus memilih jalan sendiri.” senyumku terulas dengan
genggaman Ryan yang mengurai.
***
“Sudah lama
tuan putri?” Seorang lelaki membuat mataku mengerjap beberapa kali untuk
memastikan hujan telah berhenti. dan yang memanggilku itu bukanlah hantu
penunggu halte.
“Kak Ryan
lama sekali.” Bibirku mencebik kesal.
Tangannya
dengan cepat mengacak rambutku. “Maaf deh. jangan ngambek gitu. Lagian kakak
cuman terlambat satu jam. Gimana kalau kita makan es krim?”
“Stroberi?”
Ryan
mengiyakan ucapanku dengan cepat. Ia tahu apa yang harus dilakukan saat kami
memperdebatkan sesuatu. atau demi memperbaiki kesalahan memberikanku sebuah es
krim stoberi agar ayah tidak memarahinya.
Ya, aku
cukup menjadi seorang gadis kecil yang menyanyangi kakaknya bukan mencintainya
laiknya pasangan remaja.
0 komentar