Paedagogie
Tuesday, October 06, 2020
“Olive.” Kakek mendekati sofa tempatku duduk.
Sekilas senyumku menyambar untuk sebuah kesopanan, dan kucium tangannya. Tanpa
disengaja irisku terpaku pada sebuah kantung besar yang dapat kuyakini berisi
makanan lezat. Namun atensiku tidak ingin beralih pada meja kosong yang
teronggok bisu tanpa menatapku balik.
“Hei, kau tidak menginkan ini?” kakek
menggoyang-goyangkan kantung besar yang sedang digenggamannya itu. Namun aku
terdiam. Mungkin jika akal sehatku sudah pergi, tidak akan kuambil kresek itu.
Nyatanya akal sehatku masih ada.
Sebuah cokelat besar, beberapa camilan berbentuk
kotak, dan gantungan kunci bergambar kucing—yang membuat senyumku semakin lebar
menatap kakek. “Makasih.”
“Ibumu marah lagi?” tanya kakek. Punggungnya yang
terlihat lelah bersandar pada sofa. Kini pertanyaan itu membuatku mencebikkan
bibir. “Hanya—
“Olive… Ibu belum selesai denganmu!” kuhela napas
ketika suara ibu terdengar dari arah dapur.
“—ya, tadi aku bolos.” tawaku sumbang. Dan kakek tersenyum
kecil menaggapi ucapanku.
Jika Ven tidak kentut waktu itu, mungkin kami bertiga
(Aku, Ven dan Ali) tidak akan tertangkap basah tengah membolos. Dan lebih parah
dari itu, ibuku sendiri yang memergoki kami sedang bersembunyi di antara gedung
sekolah yang sudah lama terbakar. Entah ada setan apa—ibuku memasuki gedung itu,
yang kutahu ibu sudah terlanjur memberikan amukan sandal jepit andalannya.
“Ibu harus bilang pada Ayahmu. Lihat betapa Anaknya sedang
asik membolos di belakang gedung sekolah.” Tangan ibu bersilang dengan kedua
mata yang menatapku nyalang. Tidak ada satupun kata yang keluar dari bibirku
untuk membantah—sudah ketentuan keluarga ketika kedua orang tuaku memberikan
ceramah panjang, tidak boleh sedikitpun menyela. “Kau harus diberi pelajaran,
Olive! Ibu tidak akan memberimu uang jajan.” kulihat jemarinya memijit pelipis
yang mulai berkerut itu, tatapannya terpaku pada kakek yang tengah menonton
amukan ibu. “Tunggu di sini! ibu masih ingin memarahimu!”
Aku tau arah langkah ibu mendekati suara teko air
yang menjerit dari balik dinding dapur. Walaupun ini adalah beberapa menit yang
melegakkan, tetap saja kakek tengah menatapku lekat—yang membuatku tertunduk
menyesal.
“Olive.” Kakek menepuk pelan bahuku.
Itu pertama kalinya aku membolos pelajaran sekolah.
Ali yang menghasutku dan Ven yang menarik bajuku untuk mengikutinya.
“Kau tau? Dulu, kakek tidak mendapatkan pembelajaran
dari sekolah.” ucap kakek—yang langsung
membuat kedua alisku berkerut. “Kakek malas sepertiku?” Tawa kakek seketika
meluap. Namun kembali menatapku, “Bukan itu, dulu sekolah hanya untuk orang
kaya. Dan kakek tidak bisa bersekolah karena..”
“tidak ada biaya?” selaanku yang tidak sopan itu
membuat kakek tersenyum dan malah mumujiku. “Pintar. Tapi kau tidak boleh
menyela ucapan kakek.” Tepat saat kakek membuatku menyadari kesalahan atas
perbuatan yang kubuat, ayah sudah duduk. Tepat di ambang pintu dengan wajah
lelah dan terlihat putus asa.
Eh, putus asa? Sekali lagi kucoba untuk menatap ayah yang berjalan
gontai menuju sofa. Bajunya yang terlihat kusut menambah kesan horror pada
wajahnya yang muram.
“Kita akan pindah sekarang juga.”
****
Ini sudah seminggu sejak kepindahan kami. Sekarang
aku percaya, jika karma itu benar-benar ada. Namun banyak dari orang yang
bersalah, mencicipi karma itu setelah beberapa kali berbuat.
Kenapa aku langsung ditegur? Hei! Terlihat tidak
adil!
Kini tanganku masih memeluk betis dengan kaki yang
menekuk. Tepat di antara pekarangan rumah kakek, aku sudah berjuta kali
menghela napas kasar. Jika saja asap bisa keluar dari hidungku, mungkin
pekarangan ini sudah hangus terbakar.
Sejak ayah menyuruh kami pindah rumah, aku tidak
lagi bersekolah. Ibu mencoba untuk berkebun, dan ayah memperbaiki keadaan
dengan melamar pekerjaan baru di kota. Tidak ada yang ingin memberitahuku tentang
apa yang telah terjadi, tapi dapat kudengar bahwa ayah dipecat oleh pihak
perusahaan dengan seluruh aset yang harus dikembalikan.
“Olive?” Seorang anak laki-laki membuat lamunanku
yang sejak tadi bertandang—tiba-tiba terpencar. Keningku berkerut mencoba ‘tuk mengenali
siapa lelaki itu dan akhirnya aku mengingatnya—Ketika bibirnya mengucapkan,
“Arka.” nama seorang anak lelaki yang dulu sering kulempari sandal jepit. Bukan
karena aku nakal, tapi kami memang bermain lempar sandal—yang seharusnya
kulempar sandal itu pada tumpukan sandal lainnya akan tetapi selalu saja
mengenai kepalanya.
“Bukankah ini waktunya ulangan semester. Kenapa kau
di sini?”
Pertanyaan Arka membuatku terdiam lesu. Ya, aku
mengingat sekolah. Dan kujawab saja, “Kami pindah.”
Arka tidak banyak berubah. Hanya tingginya saja yang
berlomba dengan pohon kersem di rumah kakek, mungkin karena ia sering berenang
ke sungai.
‘Kenapa’ adalah pertanyaan yang klasik untuk kujawab
dengan senyuman kecil dan membalas pertanyaannya dengan bertanya balik, “Kamu
ngga sekolah?”
“Kau lupa? Sejak kapan aku sekolah.” Arka
menunjukkan kresek hitam di hadapanku. “Ini dari kebun. Kata kakek kamu di
rumah, jadi aku ke sini hehehe..” senyum lebarnya menular padaku sekilas.
Tepukan pada batu panjang di sebelahku membuat Arka tidak berpikir dua kali
untuk memaksakan pantatnya duduk. “Makasih ya, Ka.”
Beberapa menit selanjutnya, dapat ditebak. Kami
saling bercerita, bercanda, dan lebih dari itu Arka terlalu jahil jika
dibandingkan dengan teman-temanku di kelas ataupun komplek perumahanku. Sejak
pertama kali aku berlibur di rumah kakek, Arka teman pertamaku sekaligus musuh
yang tidak benar-benar musuh. Karena ayah suka Arka tapi aku sering memukulnya
dengan sandal. Ya, tanpa sengaja walaupun beberapa kesempatan aku sengaja
karena kesal dengan kejahilannya.
Peran orang tua dalam menentukan teman untuk
anak-anaknya terlihat penting. Bahkan ketika ayah melihatku mengobrol dengan
seorang anak lelaki yang terkenal nakal, ayah menarikku dengan berkata “Nanti
lagi mainnnya ya. Udah sore.”
Padahal matahari sedang terik-teriknya. Sesampainya
di rumah, ayah berceramah tentang baiknya memilih teman, agar aku tidak menjadi
seorang Olive yang terkenal dengan kenakalannya di manapun.
“Besok, ya.” Arka menyuruhku berjanji untuk
membantunya di kebun.
Dan benar saja, pagi yang masih terasa sangat dingin
hingga aku tidak mandi. “”Arah kebun kan di sana. Kenapa kesini?” mataku tidak
beralih dari tanah untuk mencegah adanya salah langkah. Karena aku tidak ingin
terjatuh di antara genangan air yang hadir setelah hujan semalam.
“Aku tau dari kakek kalau kamu pintar.” Entah apa
yang Arka rencanakan dengan kakek—mereka terlihat seperti partner gibah. “Di
sini ada kakak-kakak yang bantu kami belajar.”
Mataku beralih dari tanah becek menuju sebuah saung
yang cukup luas. Beberapa anak berlari menuju saung. Di sana ada seorang lelaki
muda—yang dapat kutaksir umurnya sekitar 22 tahun. Hanya punggungnya yang
tampak. Arka menyeretku untuk mendekatinya—dan saat itu juga kami saling
terkejut.
“Kak Grey?”
“Olive?”
Arka membuat kami sadar dengan cepat. “Kalian udah
kenal ya. Kalau gitu Kak Grey bisa bantu Olive, ‘kan?” ucapan Arka yang tidak
kumengerti membuat keningku berlipat.
“Olive suka matematika. Kakak bisa ajarin dia?”
Otakku mulai lamban mencerna ucapan Arka. “Ya, walaupun Olive keras kepala,
tapi dia pintar, Kak.” Tanganku geram ‘tuk enggan menjitak kepala Arka. Namun
ucapan Kak Grey membuat jemariku kembali pada tempatnya. “Bisa kok. Yuk masuk.”
Sebenarnya Aku kenal Kak Grey. Dia tetangga rumahku.
Hanya beberapa terpisah oleh rumah Pak Asep. Dulu kami sering bermain, namun
sejak Kak Grey berkerja—aku perlahan melupakannya. Ya tidak benar-benar lupa.
Hanya saja aku sedikit canggung sekarang.
Di sini nyaman. Arka ternyata punya banyak relasi.
Dari hanya sekadar penjual hasil ladang, ternyata dia juga mudah akrab dengan
Kak Grey. Ternyata di sana tidak hanya ada Kak Grey, beberapa temannya seperti
Kak Ben dan Kak Nila juga mengajar anak-anak kecil seumuranku.
Hatiku sedikit tersentuh ketika mereka sangat
antusias untuk belajar, sedangkan aku pernah tertangkap oleh orang tuaku tengah
membolos. Arka sekelas denganku—walaupun begitu, kemampuan Arka tidak berada di
bawahku. Aku yang bersekolah dan banyak mendapatkan penghargaan akademik—juga
malas ini, mampu Arka saingi. Keterbatasan sekolah formal tidak membuatnya
bodoh, malah aku lebih banyak belajar darinya. Di lain kesempatan, kami
membantu Kak Nila mengajar kelas yang tingkatannnya lebih kecil.
“Makasih.” ucapku. Arka tau bahwa aku berterima
kasih karena telah menyelamatkanku dari jatuhnya buku-buku tebal yang kubawa.
padahal, aku berterima kasih untuk semuanya. Dia teman yang sangat baik.
“Lain kali hati-hati, ya.” Bersamaan dengan
senyumnya—Arka menepuk kepalaku dengan buku tebal. “Ngga usah bawa buku terlalu
banyak. Lagi pula ngga kamu baca semua kan.”
Niatku ingin mengelak. Tapi tidak jadi. “Ngga lain
kali. Tapi sekali-sekali aja.”
“Dasar batu.”
Aku tidak menghiraukan ucapan Arka. Beberapa waktu
ini ayah membuatku senang. Kakek berbicara mengenai pekerjaannya.
“Kamu mau pindah lagi?” Kali ini Arka menyambut
setoples kue cokelat yang kutaruh di atas meja. Dapat kutebak Arka sudah
membahas ini dengan kakek. Namun tetap saja kutanyakan, “Kamu tahu dari mana?”
pandanganku terpaku pada sebuah kotak biru yang kulihat di balik sakunya.
“Aku kan tahu semua.” Senyumnya mengembang. “Kamu
percaya aku bisa tahu masa depan?”
Bibirku berdecak menanggapi ucapannya. “Kalau gitu,
kapan aku mati. Kamu tau?”
“Itu tergantung.”
“Kok?”
“Iya. Itu tergantung. Kalau kamu tusukin pisau ke
jantung,” tangannya menggenggam sebuah pisau buah yang tergeletak dan
mengarahkannya di atas apel merah. “Kamu bisa mati sekarang. Tapi kalau ngga,
ya Kamu berarti masih lama matinya.” Arka tertawa berbalik aku yang
bersungut-sungut menanggapinya.
Tepat saat senja muncul, Arka berdiri pamit. Namun
sebelum dia melangkah lebih jauh dari pintu luar, tangannya menjulurkan
sesuatu.
Sebuah kotak biru kecil berpita. “Hati-hati ya
besok. Aku harus pergi ke ladang pagi-pagi, jadi ngga bisa nganter kamu. Salam
ya buat kakek.”
Kotak itu terlihat cukup mewah. Warna biru
kesukaanku melapisi seluruh permukaannya. Sempat kubuka karena aku terlalu
ingin tahu apa isinya—dan itu sebuah kalung perak dengan liontin berbentuk
kupu-kupu. Juga ketas kecil, “Jangan bolos lagi, ya!”
Senyumku terulas sempurna saat Arka sudah melangkah
jauh menuruni tangga rumah. “MAKASIH, KA!!”
Jempolnya teracung menandakan senyumnya yang
mengembang. Bahkan ia terlihat sedikit berlari. Aku tidak tau jika Arka
mengetahui kemalasanku dalam belajar. Kini tidak lagi, aku seharusnya bisa
menjadi lebih baik lagi. masih banyak yang harus kusyukuri saat ini.
Ayah menyambut uluran koperku. Mobil yang mengangkut
kami datang pagi sekali. Ibu yang sejak tadi membantu memasukkan barang-barang,
kini duduk di sampingku. Kakek tidak ikut, katanya nanti rumah itu akan
kesepian. Dan aku sedikit tidak setuju dengannya. Rumah kami tidak jauh
berbeda. Sederhana, dan ayah belajar dari kejadian sebelumnya dengan tidak
menggantungkan kehidupannya dari perusahaan. Kami membeli rumah baru, sekolahku
yang jaraknya tidak jauh dari rumah, juga tempat yang lebih nyaman di banding
sebelumnya. Walaupun aku masih menyukai rumah kakek. Ya, di sana ada banyak
pelajaran yang kuterima. Selain kemalasanku dalam belajar yang harus diubah,
juga teman baik yang terlalu nyaman kurasa.
0 komentar