MY BAD HOPES
Tuesday, September 01, 2020
“Selamat ulang tahun, La!”
“I-iya selamat tahun-tahun!”
“Apa yang kamu harapkan?”
“Merelakan keluargaku yang telah pergi.”
***
Aku tidak tau jika kata-kata itu
seperti mantra yang memanggil sesuatu. Saat kulihat Revan telah membulatkan matanya,
bersamaan dengan sosok yang bertandang mengenakan jubah kelabu compang-camping.
Persis seperti cerita-cerita fantasi milikku yang sudah menumpuk pada loteng,
lelaki dengan jubah kelabu itu datang dengan kabut tipis yang mengelilingi
tubuhnya.
Sepertinya dia korban kebakaran, fikiran itu terlintas saat Revan beradu pandang denganku menyiratkan
kebingungan.
Namun, belum sempat ucapan diantara
kami terlontar untuk menanyakan, bagaimana
dia datang kesini atau kenapa dia ada
disini? Lelaki itu memecahkan keheningan diantara kami, “Kau ingin
keluargamu kembali bukan? Aku bisa mengabulkannya.”
Aku tidak peduli dengan Revan yang
memilih terus membuka mulutnya seperti corong minyak, tapi aku—dengan tergagu
mengatakan, “Te-tentu, tentu saja aku mau!”
Jika kau seorang gadis remaja yang
ditinggal mati oleh semua anggota keluarga, dan hidup dipenuhi oleh
fitnah-fitnah teman sekelasmu sendiri, mungkin kamu akan berfikir sama
denganku.
Mengharapkan keluargaku hidup lagi.
“Ah gadis tidak berpendirian, mari
kita buat harapanmu terkabul.” Kata-kata itu terucap dari bibirnya yang
terangkat sebelah. Terdengar sarkastis, namun tidak kupedulikan.
Aku tidak peduli! Biarkan keluargaku hidup kembali!
Perlahan, debu-debu keperakan
bertabur ketika tangan lelaki kelabu itu terangkat. Debu-debu itu berkelip
indah menggelilingi tubuhku. Kemudian berpilin, diselingi teriakan Revan yang
mencoba berucap, “JANG—“
Terlambat. Senja telah berganti
malam. Harapanku dikabulkan.
Kabut tipis dengan debu keperakan
yang sejak tadi berpilin pun, memudar. Semua benda terasa buram dimataku, bahkan
dinding rumahku terasa hampir rubuh, saat Revan dengan tidak sopannya menarik
rambutku dengan keras hingga kepalaku mendongak.
Lelaki berjubah hitam itu telah hilang
diantara gelapnya malam. Bersamaan dengan suara samar Revan yang mengakhiri kepergiannya,
“—GAN! Jangan La! Apa yang kau fikirkan?!”
Revan meraup wajahnya kasar. Namun beralih
menatapku kesal. Matanya yang terlihat tidak baik. Maksudku dia melotot dengan
segala murka yang hampir dikeluarkannya, jika seorang wanita dari dalam rumahku
tidak membuatnya terdiam tiba-tiba.
“Leila? Revan?”
Tidak hanya Revan yang terkejut. Aku
bahkan membuat kedua bibir ini tidak bersatu dengan degup jantung yang semakin
resah. Rasanya, anila sedang menampar hatiku.
3 tahun mereka meninggalkanku hidup sendirian.
3 tahun hidupku penuh dengan gunjingan.
Sebelumnya, aku bukanlah anak yang
suka dipeluk ataupun memeluk seseorang. Bahkan kedua orang tuaku sekalipun.
Mama sering bertanya mengapa aku tidak suka dipeluk. Dan hanya kujawab
sekenanya, kalian bau aku tidak suka.
Padahal semua itu dusta. Sebaliknya,
aku yang sering bermain tanah hingga cacing-cacing yang keluar kutarik hingga
putus, atau kecerbohanku yang bermain sepeda hingga jatuh ke dalam
gorong-gorong, juga hal lainnya yang membuat bajuku berwarna cokelat bahkan
hitam tanpa celah. Aku merasa malu untuk meminta pelukan saat tubuhku terjatuh
dengan air mata yang menggenang. Dan menyalahkan benda-benda tak bernyawa atas
kesalahanku.
Aku hanya terlalu skeptis untuk
meminta pelukan.
Atau memeluk seseorang duluan.
Tanpa peduli Revan, kedua kakiku
telah berlari. Memeluk seorang wanita yang tengah terkejut ketika kedua
tanganku melingkar ditubuhnya dengan erat. “Van? Lala ngga minum racun tikus
kan?”
Yang ditanya hanya terkekeh pelan.
Namun mengangguk cepat mengiyakan kata-kata Mama.
Kufikir ini hanya hayalan atau mimpi—yang
hampir membuat kepala ini terjun kedalam bak kamar mandi demi membenarkannya, sebelum
Revan berusaha bersikap wajar dengan menggenggam tanganku memasuki lantai
pualam, “Aku rasa, kamu terlihat senang.”
Ah, aku menyukai kepasrahan lelaki
ini.
Semuanya terlihat begitu
menyenangkan. Aku suka melihat mama yang tengah menyiapkan makan malam, dengan
papa yang terkadang mengeluhkan pekerjaannya sambil membicarakan topik ringan,
seperti halnya keanehan Revan yang tidak biasanya berkunjung kerumah ini dengan
beralasan sedang menemaniku bermain, karena sejak dulu kami selalu melempar
umpatan, bahkan pukulan.
Sementara itu, Loey dan Laila tengah
merebutkan permen kapas yang entah sejak kapan diberikan Revan kepada mereka—hanya
sebungkus. Namun Revan hanya mengedikkan bahu acuh terhadap tatapanku yang
kesal karena tangisan si kembar.
Bahkan kini pantatnya telah mendarat
sempurna pada sofa yang berada di sebelahku sambil berucap, “Salahin mamangnya,
aku ngga dibolehin ambil dua.”
“Kenapa?”
“Karena uangnya, hanya cukup beli
satu.” Cengiran khasnya terpancar. Tubuh tegapnya lebih memilih bersandar
sambil bersiul menatap pertengkaran si kembar yang saling melemparkan permen
kapas, sambil berteriak, “Aku laporin mama, nih!”
“Aku laporin polisi kalau gitu!”
“Polisinya udah mati! Kemarin
ditembak papa, Loey!”
Lelaki itu beralih. Kini pandangannya
lebih netral menatapku tanpa senyum, “Ngomong-ngomong, La. Kenapa—“
“—mau ambil keputusan ini?”
secepatnya kujeda kata-kata yang sempat keluar darinya.
Namun Revan membuat kedua alisku
mendekat. “Bukan, bukan itu. Tapi, ponselku salah tanggal. Lihat, tanggalnya
persis hari ulang tahunmu… Tapi, tahunnya berbeda.”
Awal kukira bahwa memang ponsel Revan
yang rusak. Namun saat kulihat layar ponselku, tanggal pada layar kami memang
sama. Bahkan kalender otomatis yang terpampang jelas diantara televisi
menunjukkan tanggal yang berbeda.
“Kak Lala! Loey monster!!!”
Leila berlari, bukan kearahku. Lebih
tepatnya Leila menghampiri Revan yang langsung memeluk tubuh mungilnya. Berharap
Loey tidak bisa membalas perlakuannya karena tangan jahil itu telah membakar
pantat Loey dengan korek api. Namun tak disangka telingaku menangkap umpatan,
“Sialan!” Revan mendesis kesal.
Wajahnya merah saat mataku menelusuk
tepat mengarah pada tubuh keduanya. Dengan senyum polos, Leila menekuk lututnya
menjadi sudut yang lebih tajam, tepat mengenai bagian terlarang milik Revan.
“Ewh..” Aku berjengit ngilu melihat
Revan tengah menahan kesakitannya. Dan berusaha mengambil Leila sebelum Revan
dengan tidak belas kasihnya melempar adikku ke lantai.
Hampir kuungkit kejadian tragisnya dengan
bertanya, apakah itu sakit sekali?
Namun Revan berdeham dan kembali
berbisik meneruskan ucapannya, “ekhm, maafkan yang tadi..” Revan berniat melanjutkan
ucapannya, “Aku rasa, lelaki compang camping tadi hanya membantumu untuk
mengubah sesuatu. Dia tidak benar-benar mengembalikan keluargamu dengan utuh.
Justru mengulangnya kembali, menarik waktu supaya kamu bisa menyelamatkan
semuanya. Atau, kamu kembali menyaksikan hal yang sama,”kata-kata Revan hampir
membuatku terdiam, jika saja lampu tidak padam tiba-tiba.
Aku teriak tanpa suara.
Disaat bersamaan—sebuah kue ulang
tahun berukuran sedang tergeletak dihadapanku dengan lilin besar bertuliskan angka—13.
Aku melihat Leila sudah berdiri diujung meja bersebelahan dengan Loey yang
menarik-narik kertas kado mereka. Ada Mama yang tersenyum lebar, dan jangan
lupakan Papa yang tengah menjaga lilin, agar tidak padam. Sedangkan Revan disampingku
tersenyum lembut menampilkan lesung pipinya.
Lelaki itu mencoba tetap bersikap biasa.
Alunan lagu ulang tahun yang sedikit
sumbang dari mulut Revan, tidak cukup mengganggu pendengaranku. Bahkan air
mataku hendak menetes saat kepalaku tertunduk kearah kue tersebut.
Kuakui, aku merindukan mereka. Selama
kepergian mereka, aku hanya bertahan hidup dengan uang asuransi kematian. Aku tidak
ingin meghubungi paman atau nenek, karena ku tahu hubungan keluarga ini tidak
cukup dekat dengan anggota lainnya. Papa dan mama diusir dari keluarga karena
tidak direstui, bahkan aku hanya terdiam iri ketika teman sebangku menceritakan
liburan semesternya yang pergi ke rumah nenek.
“Ayo kak, Lala. Lilinnya mau mati.”
Kalian yang akan mati hari ini. Kata-kataku datang bersamaan dengan ucapan Loey saat lilin-lilin
yang berpendar, hampir habis. Namun tidak sempat kuucap. karena api yang menyala
itu telah padam dari sumbunya—ditiup olehku.
Kuakui jika Revan pernah
mengalahkanku dalam pelajaran. Itu sedikit membuktikan otaknya lebih pintar
dariku. Omong-omong, Revan peringkat 22 dari 23 anak kelas.
Dan kesimpulan yang ia ambil dari
pengamatannya saat lelaki dengan jubah compang-camping mengabulkan permintaan
itu, masuk akal. Dapat kuingat, bahwa pembunuhan
keluargaku terjadi saat kami semua terlelap, tepat saat ulang tahunku. Maka
kali ini, aku mengajak Revan untuk tetap terjaga. Setelah perbincangan, juga
perayaan kecil-kecilan itu, aku beralasan ingin menonton film bersama Revan.
Dan tentu saja itu tidak mudah.
Karena, Loey merengek ingin tidur
denganku dengan wajah memprihatinkan, kak
Lala.. Aku ngga mau tidur sama Leila! Dia sering jilat kepalaku kalau tidur.
Juga, Leila yang terus menarik Loey
agar tidur dengannya. Ayo Loey.. udah
malem harus bobo.
Jadilah acara saling tarik menarik
itu berakhir dengan kami (aku dan Revan) yang bersandar pada sofa kamar dengan
mata yang hampir terlelap menahan kantuk. Awalnya Revan selalu mengingatkan
kami agar kami berdua tidak tergoda untuk tidur, disamping memasang telinga
baik-baik, jika saja ada sosok yang mengerikan bertandang. Hingga suaranya
seperti mesin generator yang selalu berdenging nyaring.
Satu menit kemudian, dia yang
tertidur duluan.
Beberapa menit kemudian, dengkuran
lelah kami memenuhi kamar.
Suara-suara aneh membangunkanku
diantara kantuk yang masih menyerang. Tak kusangka jika tidur kami yang
kemalaman membuat mataku menjadi sedikit bengkak saat matahari sudah menusuk
kulit. Pencegahan itu gagal.
“Lalu siapa ini?! Kau kira kucing
luar yang tiba-tiba menghamilinya?!”
Aku kenal pemilik suara itu, namun
Revan menarikku untuk kembali terdiam diantara sofa ruang tengah. Suara teriakan
penuh amarah itu berbalas dengan jawaban lembut, “Bukan, bukan seperti itu. Ma,
ini semua bisa kita bicarakan baik-baik..”
Jemari Revan mengerat membuatku
mengerti arah perkelahian yang sedang dilakukan oleh orang tuaku sendiri.
Samar-samar kulihat seorang wanita dengan perut yang setengah membuncit
menunduk disamping mama.
Dari balik sofa, mataku mencoba untuk
tetap mengintip apa yang diberikan oleh pendengaranku. Kulihat mama terlihat
marah. Piring kaca sudah tidak berada lagi ditempatnya. Matanya berair dengan
deras, juga asmanya yang mulai kambuh.
Mama terllihat kacau.
Belum sampai disitu, mataku beralih
pada Loey dan Laila yang terdiam saling berpelukan karena takut melihat
pertengkaran orang dewasa di depan kamarnya.
Revan mencoba mengambil adik kembarku
untuk duduk bersamanya berharap kedua bocah itu bisa tenang. Namun mataku mulai
memanas.
Aku tidak mengira jika pembunuhan
yang akan ku cegah, malah berbalik menghantarkan kejadian lain. Papa
bertanggung jawab. Sejak itu kedua orangku memilih bercerai. Dan mama mulai
tidak berbelas kasih dengan mengirim kami—anak-anaknya ke panti asuhan. Loey di
adopsi oleh sepasang suami istri yang kaya raya, sedangkan aku dan Leila
menjalani hidup di panti asuhan sampai besar.
***
“La?” Revan mengibaskan tangannya di
hadapanku, berharap tubuhku bukan korban dari santet saat ini.
Namun itu berhasil. Revan membuat
mataku mengerjap berkali-kali. Dan menjawabnya dengan asal. “Aku rasa,
pembunuhan keluargaku lebih baik.”
“Ha? Apa yang sedang kau fikirkan?”
Alisku sedikit mengerut kesal. Mulut
Revan tercium aroma aneh saat mengatakan ‘hah?’ namun tidak ku perpanjang lagi
dengan memberinya sedikit penjelasan.
“Maksudku, aku pernah berfikir untuk
mengembalikan keluargaku. Namun takdir Tuhan lebih baik untuk membunuh
semuanya. Karena jika mereka tetap hidup, aku mungkin akan lebih menderita
dengan gumpalan dendam. Kehilangan pada masa lalu membuatku sedikit terbuka.”
0 komentar