Kita sepasang raga yang bertemu.
Dalam perjumpaan,
saat takdir menemukan aku—tak malu,
mengaku dekat padahal terlampau jauh.
Aku seperti bayang.
Tidak pernah menuntut,
selalu ter-gantung,
namun tak pernah membuatmu kalut.
Aku sebijak kisah lama,
seindah alunan harmoni dama,
selembut anila yang bertandang pada ina,
juga sepersekian rahasia yang terlihat tanpa lara.
Tak lama itu, akalku berkata.
Dengan lantang ia meneriakiku gila.
Lembar hari ini telah lekas untuk
dilipat
Meninggalkan sesak napas yang
pernah dirasakan
Kala ia terbantu alat, kini
semuanya disimpan dengan rapat
Kau pernah mendengar? Tiap riuh
yang sempat membuatnya merintih
Atau rengkuh yang tak pernah hadir
itu, kini berbalut sandang putih
Namun tak ada sendu, hanya rindu
agar mampu bertemu.
Katanya, Daksaku tak la gi menjadi
medan pertempuran
Antara menahan sakit dan mengucap keluhan
Yang membui akal, berharap sehatku cepat
keluar
Dari persemayamannya yang jauh nan
menyasar
Juga serpihan damai yang coba
mengelekar
Nyatanya ia kembali hari ini
Namun tak kulihat mereka bahagia
sama sekali
Saat kutanya mengapa semua?
Mereka hanya terdiam tak ingin
berkata.
Pada damainya yang kini menjadi
bulir sedih keluarga
Ia berkata, Kini giliranku mencecap
semua damai
setelah berperang dengan raga.
Garis panjang nan bisu semakin keras berbunyi
Melenting dalam sepi—ayah menyambut sebilah besi
Kutanyakan mengapa sudut itu tajam
Namun tak menjawab, senyum ayah melengkung dalam kelam.
Ayah berkata, “tunggu disini”
Namun ibu menurut kuarsa tak sanggup.
Saat matahari mulai terbit eksistensi itu menghilang
Tetangga mencari,
ayah berderap menjauh pergi.
Kukatakan disini,
mereka tak mendengar.
Ku teriakan kami tertinggal dalam sepi.
Ayah bilang kami pergi meninggalkannya sendiri.
Semula anila mencoba bertamu,
mengajakku untuk memberikan kebenaran akan hadirmu. Yang kurasa semua hanyalah
bualan belaka, ditemani bumbu dusta pada setiap ucapannya. Dalam
lembar-lembarku yang usang, dalam tinta-tinta keperakan yang mencoba untuk
mengabadikanmu dalam bait-bait puisi penuh rindu. Satu hari kutemu, seribu
kalkulasi kurindu. Seribu kata temu, akhirnya aku yang diduakan oleh senyum
manis itu.
***
Anila terlalu canggung untuk
menyapa saat menemukanku yang tengah tersedu di balik batu itu. beralaskan
debu-debu hitam, bertelangjang kaki aku berjalan. Berselimut dingin, aku
mengatakan bahwa “diriku, wanita yang diduakan.”
***
Nyatanya senja datang untuk
kurenungi. Semua orang mungkin akan mengagumi jingga yang terlihat elok ku
tatap sendiri. Yang terkadang diamku tidak ingin berbagi. Dalam bait-bait pikir
yang mulai kuresapi. Kini, sebuah sendu mengatakan bahwa “aku boleh rapuh,
tidak untuk jatuh.”
Nala seharusnya bersahabat
Pada tiap waktu yang sedang memikat
Namun ronanya terlihat pekat
Oleh merah yang menuntut atensi lamat.
Jika senyum itu praharsa,
mungkin rengkuh akan menyapa.
Namun detik selanjutnya, tanggal menerpa
Menyabit semua arsa yang tercipta.
Jika senyum itu pradipa
Mengapa binar tak terlihat disana?
Hingga menerka adalah pilihan yang diambil
Masih pada rintik yang berbeda
Pada virtual yang pernah menjadi bagian dari kisah
adalah karsa senang yang selalu bertamu
Dalam nyanyian rindunya sang malam penuh sendu.
Masih pada rintik yang sama,
kau telanjangkan kaki menapak berdua.
Diantara rinai yang berubah redum
Diantara kasih yang mengalun antun.
Ketika masih, pada lembar yang kesekian
Kala jalan mulai bercabang, kita yang saling menatap
Penuh ragu, namun tak sempat terucap
Dalam senyum ini, tapak kita tak lagi sama dalam satu arah.
Ada kisah manis yang kita nikmati berdua
Saling menyesap rindu pada titik yang berbeda
Mengalun alkisah fakta yang mungkin sama.
Bahkan detik iri untuk melihat naskah ini,
Dalam alur yang terlihat stereotip
Bertemu menyapa
Berlalu mendua.
Bukan kelabu, namun kita memang memilih,
Jalan yang cabangnya penuh untuk ditapaki,
Dengan bertelanjang kaki,
mungkin bisa dengan merintih.
Melahirkan anak-anak rindu
Yang jatuhnya tidak jauh
Pada senja waktu itu.
Berbekas pada tiap jemariku,
Menarik iris untuk memeluk.
Yang tak mungkin rentang ini mampu.
Simfoni kelabu yang bertandang
dalam sendu remang,
mulai berakar pada binar rindu yang
sempat ku simpan,
bebas berenang perlahan menggenang,
memenuhi resah yang tak ingin
bertahan.
Pada tiap janji yang mungkin,
tak pernah ditandangi.
Pada tiap senyum,
yang manisnya tak ada lagi.
lembar demi lembar rapsodiku
berkisah,
tinta hitamku menampar nala, nalaku
gelabah.
Membuka saban laci pilu untuk
kurengkuh,
Saat ruang rindu bertandang—aku
jatuh.
Pada pergi yang sebenarnya ingin,
Pada pulang yang akarnya berpilin.
Mencegah tak bisa,
Mengenas yang ada.
Lembar ini mungkin tak sama, seperti kemarin.
Yang riuhnya masih terdengar, berdecit beban keterpaksaan.
Remang bertandang senja tenggelam,
ditemani pahitnya cairan hitam,
asap mengepul bebas menuju langit kelam.
Sejauh aksa menatap daun lebar itu terbang,
yang lembar demi lembarnya membawa jiwa usang.
Saat beban tak lagi mengekang,
kursi kayu yang damainya penuh kenang.
Yang sapanya tak lagi ada
Sedihpun tak turun jua
Hanya ada senyumnya yang kini merekah,
Saat beban tua tak lagi memenuhi serat resah.
Mengisi ruang sepi saat semua telah pergi,
menyisihkan ia sendiri yang tertinggal pada dimensi.
Dengan hening yang selalu menemani,
tiap rindu pada pemilik tua yang pergi.
Biru yang keruh itu menambah saban lampu jalanan
Membiarkan sisa-sisa keperakan pada perempatan.
Menerbangkan sayap-sayap yang pernah patah,
yang kini telah berganti lembar putih lainnya.
Yang pernah melihatnya mungkin akan ramai.
Ramai akan rasa yang datang,
ramai akan rindu yang terdengar sumbang.
Kenapa?
Karena semua orang dapat suka
Namun tidak dengan punya.
Katakanlah aku kikir,
tapi menikmatinya sendiri,
Kurasa adil.
Aku ingin membahas rindu,
namun tak kutemui kata yang pas untuk dituju.
Ketika kutanya,
rindu seakan enggan,
namun sedikit berlalu ia mengatakan,
bahwa tulisanku akan menyampaikan.
Rindu yang akan terus,
dinikmati.
Pada bait-bait puisi yang tak lekas,
untuk kutulis
kembali.
Yang terlalu berlebihan,
mungkin juga terlihat memuakkan.
Karena rasa yang tak pernah kusampaikan,
pada tuan yang memegang chamomile di tangan.
Ingin kugantikan dendalion,
namun bibirku bungkam.
Bahkan melihat saja enggan.
lalu kuputuskan untuk diam.
Diam yang diam-diam memendam.
Diam yang diam-diam menaruh,
sebagian rindu pada jalan itu,
yang tak pernah dituju untuk melamarku.
Mungkin ini sedikit remang yang menyejukkan
Dalam cerita lama yang terlihat menyenangkan.
Kini rindu tak kutanya,
biar akalku mengalkulasikan semua kisah,
atau bahkan jalan sepenuhnya,
yang sepertiganya penuh luka,
sepersekiannya penuh senyum mewah.
Sendiri bukan berarti sepi
Sendiri memang hanya seorang diri
Namun sendiri menghidupkan imaji
Dan sendiri membuat dunia lebih ramai lagi.
Nyatanya bukan kesendirian yang kudapat,
karena bangunan-bangunan tua itu mencegahku untuk melekat
Pada imaji yang mungkin bisa menyesatkan,
aku yang terlihat sendirian.
Disamping bangunan tua
Penuh sejarah
Katanya.
Itu saja, aku tak mengerti sepenuhnya,
karena mataku memilih untuk berbelanja.
Pada tiap lirik yang berbeda
Menyisahkan resah pada lampu bak permata.
Lihat dulu ini,
selami makna kembali,
jika kau tidak mengerti,
tanyai aku lagi.
Karena aku hanya menuangkan duri-duri kelabu,
bukan pelaku yang memberikan luka tusuk itu.
Karena nyatanya aku adalah sosok yang dituju,
dalam besi tahanan,
bernama perasaan.
Yang terlalu memuakkan,
berisi distorsi lama yang telah usang.
Tidak lebih seperti ini,
dalam Koran-koran lama yang tak ingin memungkiri.
Bahwa Leila meninggal karena ditikam,
Dianna tergeletak dalam langit kelam.
Yang tak pernah bangkit untuk memberi jawaban.
Atau sekadar tersenyum membalaskan.
Apa yang ku jalani,
apa yang pernah kutemui.
Bukan aku,
sekali lagi pahami dulu.
Apa yang kutulis dahulu,
saat kita pernah bersama waktu itu.
Aku ingin jam dinding itu berhenti
Terpaku untuk menatap kami,
dengan iri,
dengan sembunyi.
ketika langit menyaksikan lindungannya,
terlalu menduakan—mencoba tuk mengusirnya,
membuat mendung untuk mulai basah,
di samping apel merah itu senyumku merekah.
menanti balasan,
menanti makian,
berganti senyuman,
banyu biruku menenangkan.
Bila memeluk adalah peredam,
maka seharusnya itu yang kusaksikan,
diantara rentang tangan,
yang diam-diam saling menghangatkan.
Pupus
Secarik harapan pernah terlintas,tentang masa depan dan akhir dari termuan. Namun semua lenyap ketika tau kamu tak sejalan dengan anganku.
Tujuan akhir
Seribu alasan kita akan berbeda, berjuta alasan untuk saling
mengerti. Jika peduli dan terkendali aku yakin tujuan kita akan sama-sama
menuju arti.
Kamu
Terkadang aku tak megnerti, apa ini sebuah kebetulan atau
kenyataan. Karena ketika aku menyadari, kamu bukan lagi tujuanku untuk kembali.
auliadila..
Hari ini,
aku kembali,
bertandang untuk menghapus sunyi,
dan ternyata, senyummu telah kembali.
Tuan, garis-garis indahmu terbentuk
Manis, sangat; kurasa tebu akan iri padamu
Nuansa seakan bergerak menikuk
Semua curam rasaku yang kembali membiru.
Seharusnya menyapa,
namun jemariku diam penuh bisa.
Seharusnya aku melupa,
namun aku kembali membuka lembaran lama.
Ah mungkin sesaat,
sesaat yang menjadi berjuta saat,
sesaat yang menjadi beribu saat,
dan sesaat yang mengembalikanku pada sesat.
Temanku gelap,
di samping kayu beraroma pekat,
juga secangkir rasa pahit yang tak ingin lenyap,
ini aku; bayangan yang masih melihat begitu lamat.
Aku pernah berkata pada rindu
Dengan bait-bait puisi yang tak lagi bertemu
Dalam kotak tua berwarna biru nan lugu itu.
Dari jutaan bubuk yang pernah bersatu,
Saling menghakimi,
Lalu pergi membawa rindu,
Dan kembali tertidur dalam pelukanku.
Akalku berkata,
usir saja mereka!
Terlalu banyak distorsi dalam diam,
bahkan anomali yang membuatmu tenggelam.
Namun mereka mengerak,
walau sebagian telah retak,
kenangan lain semakin bergejolak,
Dalam diam yang meminta,
bahkan gamang,
mereka meronta,
untuk kembali pulang.
Mengharapkan sang raga untuk mengingat agar tak melepas,
pada Memori lama dua ribu sembilan belas.
Masih segar dalam ingatanku
Kotak berpita dengan permen gula-gula
Yang mengisi separuh ruang rindu
Dari sisa-sisa tempat yang manis saat itu
Memberi adalah sebagian dari
nikmat yang dapat kuselami
sebagai tanda mata
untuk sebuah kata terima
Dalam kasih yang tersurat
berjuta senyum yang tergurat
dibalik arloji merah jambu
yang selalu kutemukan dalam kota itu.
Mungkin angin malam pernah
menerbangkan harapan
yang terlihat gamang juga resah
di sepertiga gelap yang tertahan
Aku ingin bertandang
pada bunda yang selalu
megecup senja
saat lintang akhir itu
Aku ingin bertanya
mengapa, bagaimana, dan entah kenapa
Aku hanya terdiam
Dengan aksa yang telah mengerti akan semua
Yang pernah menorehkan luka
namun tak ada maaf yang terucap.
Inginku yang begitu sederhana
Melupakan salah untuk kembali
Menerima dengan senyuman
Yang pernah terlupakan itu
Inginku kembali
menusuk semua kata,
bahkan diksi
yang meresahkan ‘kita’.
Membuat dosa pada helai takdir
Menenggelamkan fikir
Bahkan kisah lama yang pernah terukir
Secepat itu kita dekat yang terlampau kikir
Membunuh waktu
dengan menyendiri
selalu sibuk dengan ucap rindu
yang tak pernah kumengerti
Lelah, sudahlah,
tolong menepilah,
karena kita hanya dekat yang pernah salah
juga tak pernah ingin mengalah.
Pada pertemuan yang kesekian
kau masih tetap sama
menemani persona yang kesepian
namun kau nyaman yang tak mendua.
Bahkan kita pernah
saling membagi rindu
pada bait-bait resah
yang lenyap untuk saling beradu.
Menatap untuk
bisa menetap.
Dalam jarak
yang perlahan menggelap.
Tak boleh mendua
katanya.
Namun anganku seakan berkata
nikmatilah selagi dirimu merasa.
Sementara aku yang menerbangkan
kita dalam ruang kelam
yang menyisihkan setiap perasaan
ditemani arunika, aku kembali tenggelam.
Sementara laci rindu ini sepertiga
kubiarkan terus membuka
dalam sepinya seakan berkata
untuk meceritakan aku yang ingin berubah menjadi kita.
Tidak sepenuhnya,
setengahnya mungkin,
aku yang berlebihan menganggapnya,
sebagai kekasih lingkar pujaan.
Semakin lenyap
warna hitam pun semakin pekat
sadar akan aku yang mulai kalap
ketika senjaku hilang, kita mulai bersekat.
Lukiskan garis jingga,
maka nabastala akan menyambutnya.
Selalu dengan hangat
Selalu dalam peluk erat.
Dalam lintang hidup yang mengiris tepian,
umur yang menipis untuk kesekian,
juga waktu yang selalu menjadi penyaksian,
atas senja yang selalu membuatku kesepian.
Ditemani kafein pekat
Beraroma sengat
Namun tuan tak pernah dekat
Bahkan sekadar untuk aksa yang lekat.
Aku yang terduduk dalam ruang pengap
Diiringi alunan sendu memori lenyap
Yang selalu ada tawa namun sekilas,
berganti duka,
jengahku beringas.
Senja terlihat berbeda
Menipu nabastala bahwa ia akan selalu ada.
Selalu menggunungkan harap
Lalu lenyap ditelan gelap.
Aku bentuk dari rahasia senja
Yang menyimpan egoisasi dalam rasa
Beraroma pekat nan getir kurasa
Namun pandanganmu hanya sekilas—ku duga.
Karena alasan yang tidak beralasan.
Menarik kesimpulan yang kesekian,
hanya sepandang,
akhirnya kau gamang.
Kau merasa tertipu akan segenap lelah,
begitu pun tertipu akan sejuta jengah,
lalu kau resah,
menghilang dengan segenap gundah.
Berbaliklah jika sudah,
pulanglah pada tempat bernama rumah.
Karena aku nabastala,
Yang akan selalu memeluk senja ketika kami berjumpa.
Aku perindu,
candu akan aroma itu,
nahkan lelahmu,
yang meramu sendu.
Bertahan,
sampai akhir pun akan kutahan,
bahkan rindu ini tak pernah kuberikan,
pada puan lain sebagai pemujaan.
Jika kau tanya
Aku bisu
Jika kau tatap
Aku malu.
Ah pecundang itu bukan aku
Karena istilah itu bukan untuk diriku
Atau kain pembentuk wujudku.
Aku berbakat,
lihatlah kemampuanku saat melihat,
apa yang terjadi tak dapat kurekat,
namun ku tatap dirinya penuh daya pikat.
Sudah kau lihat?
Aku dusta diantara pendusta
Peramal compang dari hayalan belaka
Bahkan perindu yang sebatas ujaran langka
Masihkah belum terlihat?
Bagaimana jika ku buat kau buta saja?
Lalu ku tempelkan sebuah baja
Menggantikan aksa yang tidak berguna.
Mari menelaah,
aku pendiam yang diam.
Dalam diam ku jengah.
Lalu berbalik menjadi pendendam.
Aku
Yang terus
Berlari
Dalam hayalku
Sendiri.
Dalam sepi mungkin aku tertawa
Miris atau merana tergantung persepsi mereka
Kadang menyendiri terlalu menamparku
Telak dalam relung, membuatku biru.
Dalam kerjap yang seakan nyata
Kala tuan bertandang membawa bunga.
Siklusnya begini
Kamu pergi
Aku tetap disini
Salah?
Ah iya, aku tetap berdiri disini
Lalu kamu menghampiriku dengan pasti
Tetap salah?
Bagaimana dengan ini.
Kamu berlari
Lalu ku teriaki kau pencuri hati?
Hey, aku berlebihan.
Tolong dengarkan,
Aku hanya ingin memastikan
sedikit rasa yang masih mengakar dalam kerongkongan.
Rasanya semakin sama persis
Kembali jatuh lalu mengagungkan nama—yang tak pernah habis
terkikis
Dalam waktu kita yang telah habis
Atau ramu rasa yang sudah lama kau tepis
Syukur, tuan membuatku dapat merangkai kata
Menjadi untaian rasa rindu atau kepalang aku—memang perindu.
Terbalut dengan cantik beralaskan tepian setengah rasa
Yang hanya berkerak pada satu arah, kembali rasanya
menunggu.
Menunggu untuk sebuah plester,
Mungkin juga sebuah obat merah.
Karena relung tidak pernah bercerita
Tentang luka hati yang terobati dengan antiseptik yang ada.
AKU TIDAK pernah
benar-benar menyukai ayah. Mungkin terlalu banyak amarah ayah yang hadir dalam
ingatanku, walaupun kata ibu, aku selalu
menjadi prioritas mereka.
Aku dapat mengingat dengan jelas
ketika ayah memarahiku setelah pertemuan pertama di sekolah dasar. Yang pada awalnya
ayah tampil di depan pintu dengan semangat demi menatapku, sementara aku malah
terduduk lesu, sambil menumpu dagu di atas tangan karena karena tidak mengerti
pembicaraan orang tua di depan meja yang bersebrangan dengan tempatku duduk.
Ayah memanggilnya ‘bu guru’. Maka
sejak itu kupanggil setiap orang tua yang berpakaian persis seperti orang tua
itu, sebagai ‘bu guru’. Walaupun ia memakai celana panjang dan kepala botak
tanpa krudung.
Ayah juga sering memarahiku,
mengatakan bahwa aku anak perempuan, tidak seharusnya pergi memancing di tengah
persawahan—saat aku nekat menginjak batang padi yang baru ditanam, demi
menyusulnya memancing ditengah petak sawah dengan celana putih bunga-bunga.
Namun tindakanku membuat kegiatan
memancing ayah berakhir, dengan amarah ibu yang memuncak. Aku tertawa dalam
hati, namun akhirnya ibu memukulku karena menyusahkannya demi mencuci celana
putihku.
Aku juga penakut, namun Sinar kecil
sepertiku selalu mandi saat ayah ingin mandi. Berharap aku bisa di temani,
namun ayah berteriak kesal karena menungguku mandi berarti ia tertinggal jamaah
di masjid.
Aku sinar kecil yang selalu ingin
tahu, hingga menarik sarung ayah—yang membuatnya marah. Padahal aku ingin tahu
kenapa ayah selalu memakai sarung saat pergi beribadah.
Bahkan saat ini, ayah tengah
memarahiku karena aku keras kepala tidak mau ikut mereka berlibur kerumah
nenek. Hingga aku harus diseret paksa, ditonton pohon-pohon jambu merah
kesayangan paman.
“Biarin aku di sekolah atau di
rumah!” kaki kecilku menyentak batu-batu bata yang tersusun. Namun ayah mencoba
mengurangi intonasi suaranya. “Teman-temanmu libur, Sinar. Tidak ada orang di
sekolah.”
“Yasudah, biarin aku mengobrol dengan
tiang bendera saja. Asalkan tidak pergi ke rumah nenek.” Ayah tersenyum.
Disusul tawa dari seberang bangku ayah yang kutau—tawa itu milik ibu.
Aku mengoceh sepanjang jalan. Bahwa
rumah nenek tidak begitu enak. Rumahnya tidak bisa aku buat arena berlari
karena terbuat dari kayu. Jalannya begitu becek dan beberapa hal yang membuatku
tidak suka agar mereka menghentikan perjalanan ini.
Namun semuanya berakhir dengan aku
yang tertangkap basah tengah dipangku nenek dengan setoples cokelat penuh.
Sesekali aku menerka apa yang
orang-orang besar sering perbincangkan. Apakah
mereka menceritakan dongeng yang sering kudengar, atau apakah mereka menonton film
Barbie yang sama denganku dan dipta tonton?
Nyatanya mereka lebih rumit. Dan cokelatku
lebih pahit.
Ayah membersihkan bekas cokelat yang
hampir memenuhi separuh dari wajah putihku. Gigi putihnya terlihat sedang
menahan tawa saat aku menelusupkan toples cokelat dibelakang punggung, “Ayah
ngga boleh minta.”
Ayah tidak marah kali ini. Tangannya
yang kekar memilih untuk menggendong tubuhku diantara dadanya yang bidang dan
menunjuk jalan kearah pasar seakan hafal setiap pedagang di dalamnya, “Kau tau,
Sinar. Di dalam toko itu, ada banyak esss…”
“…krim! Aku mau esttt krim!!!” Air
liurku sedikit muncrat. Namun keadaan ini yang paling kusuka. Bukan liurku,
tapi saat ayah menawarkanku eskrim.
Sebenarnya Ayah bukan orang yang
membosankan seperti guru di kelasku. Bahkan, ayah sering mengungkit-ungkit hal
kecil entah apapun itu demi mengajakku berbicara. Mungkin itu sebabnya juga aku
selalu mengikutinya pergi hingga ke tengah petak sawah.
“Yang ini.” Aku menotol-notol es krim
besar yang berjalan sambil memikirkan betapa kenyangnya aku memakan eskrim
sebesar ini.
Es krim besar itu malah berjalan
menjauh. Dengan rengutan kesal, tanganku memeluknya walaupun hanya sampai
seperempat, berharap eskrim besar itu tidak lagi menjauh. Diam disini, aku akan memakanmu es kim!
Kutarik ujung conenya dan membuat
seram wajahku berharap es krim besar berkaki itu takut dan berlutut di depanku
meminta untuk ku makan saat itu juga.
“Itu bukan eskrim, Sinar.” Tutur ayah,
tangannya langsung mengangkat tubuhku menuju lemari es berbentuk balok.
“Tapi itu eskrim,”bibirku mencebik
kesal. Ternyata es krim besar dengan dua kaki itu tidak dapat ku makan. dan helaan
nafas kecewaku terdengar jelas saat mendapati eskrim besar itu, tidak terlihat
dimanapun.
Aku masih menginginkan es krim besar
yang berjalan, namun Ayah memberikan eskrim berwarna cokelat dengan bintik
berwarna-warni untukku.
“Kau tau, Sinar?”
Aku tetap memberenggut. Namun ayah
masih mengajakku berbicara, “Eskrim ini selalu berubah.”
Aku tidak peduli.
“Saat es krim ini pertama keluar, bungkusnya
akan terlihat besar. Lalu produksi berikutnya, bungkusnya akan sedikit
mengecil. Setelah banyak orang yang memakannya, maka bungkusnya akan semakin
kecil.” Jelas ayah lagi.
Dan itu membuatku menampilkan wajah
polos dengan ketidakmengertian. “Apa nanti hilang?”
“Tidak juga.”jawab ayah. “Itu
berarti, semuanya selalu berubah. Sinar bertambah dewasa, dan ayah akan pergi
suatu hari,”
Aku semakin tidak mengerti arah
pembicaraan ini namun tetap bertanya, “Kemana?”
Bukannya jawaban. Bibirku malah kembali
memberenggut kesal mendengar pertanyaan ayah, “Kau mau ayah kemana?”
“Disini saja. Ibu ngga suka
membelikanku eskrim seperti, Ayah.”
Ayah tertawa kecil menanggapi
ucapanku. Persis saat nilai aku bisa membaca dengan tiba-tiba. Tangannya
terangkat membereskan bekas eskrim yang ada diantara pipiku, namun tiba-tiba
ayah memberikan tisunya, “Tunggu disini, Sinar. Ayah akan kembali.”
Bukan aku, jika tidak keras kepala.
Kakiku tetap mengikuti langkah besar ayah seperti seorang detektif kecil yang
bersembunyi dibalik pohon kecil.
Sinar kecil terlalu kentara untuk
ayah tatap dengan jelas. “Jangan ikuti ayah! Tunggu disitu, sebentar saja,
Sinar.”
Ayah berlari, tentu saja aku berlari.
Namun ketika ayah memukul seseorang, aku bergeming. Es krim yang ada ditanganku
jatuh entah kemana.
Aku sering melihat ayah memukul paku
untuk membenarkan pintu rumah, namun tidak dengan manusia. Ayah sering
memarahiku ketika aku memukul kucing tetangga. Ayah juga marah ketika aku
memukul dipta dengan batu bata. Tapi, kenapa ayah memukul orang?
Adegan pemukulan itu sangat cepat,
irisku terpaku pada ayah yang sudah mengunci tubuh seseorang yang berada di
depannya. Untuk beberapa saat orang-orang berkerumun, membuat tubuhku yang
kecil—tidak lagi melihat ayah.
Namun pendengaranku menangkap sesuatu
yang terdengar nyaring. Seorang perempuan bertudung berteriak, “Bukan dia
pelakunya! Tapi orang yang memukulnya!”
Dalam sekejap semuanya berubah.
Didalam kerumunan kulihat bukan ayah yang keluar, namun lelaki yang sejak tadi
diikat oleh ayah—berbalik ayahlah yang sekarang dipukuli oleh mereka.
Aku tidak mengerti. Namun tubuhku
yang kecil mencoba masuk—dan tentu saja terlempar jauh. Suaraku yang
memanggil-manggil ayah, teredam oleh orang-orang besar itu. Air mataku menetes
cemas. Dapat kulihat dari celah mereka, tubuh ayah sudah meringkuk dengan lebam
dan darah pada tubuhnya masih dipukuli oleh banyak orang.
Yang membuat tangisku semakin
berderai saat itu juga.
Aku tidak bisa berbuat apapun. Selain
menarik baju perempuan bertudung, “ayahku tolong ayah!” Yang langsung ditepis
olehnya.
Bersamaan dengan itu, terdengar suara
ledakan memekkakan telinga. Disusul orang-orang yang berlarian pontang-panting
menjauhi jalanan timur. Tubuhku terseret arus manusia yang mencoba
menyelamatkan diri dari kobaran api hingga menjauh dari tempat ayah dipukuli.
Namun manusia-manusia besar itu terus mendorongku yang hampir tercebur ke dalam
saluran air.
Untung saja tidak.
Ledakan demi ledakan menyusul. Hampir
semua pertokoan hangus terbakar. Rasa takut membuat air mataku semakin deras
membasahi pipi. Pertokoan dijarah. Pemilik toko tidak peduli dengan tokonya
yang diambil paksa. Orang-orang saling memukul seperti yang ayah lakukan tadi,
dan semua orang saling menyelamatkan diri sendiri tanpa peduli anak kecil yang
lemah ini.
Kini aku merasakan pening lebih dari
saat aku bermain bianglala bersama teman-temanku. Terbawa arus manusia, ke
kanan juga dan ke kiri.
Namun saat tubuhku hampir terseret
kembali, sebuah tangan mencegahnya untuk rubuh. Beberapa detik yang menyesakkan
itu terbayar, dengan ayah yang membawaku kedalam gendongannya. Aku ingin
berteriak senang, alih-alih bahagia, tangisku semakin pecah.
“Sinar, ayo pulang,” Sekilas kupingku
tidak dapat mendengar apapun kecuali debuman yang beruntun dan teriakan
orang-orang yang panik. Namun saat ayah berlari membelah kerumunan manusia, aku
bisa mengendar ayah mengatakan, “Kita akan pulang sekarang.”
“Sinar, seharusnya kau sudah pulang
sejak tadi. “ kata-katanya ayah terdengar defensif.
Namun aku mengelak, ibu akan marah kalau aku pulang tanpa ayah.
Sepersekian detik mataku menatap
asap-asap yang membumbung semakin tinggi. Disusul debuman yang hampir mengenai
kami. Dan kepala ayah yang mengucurkan darah segar.
Sepertinya ayah tau tanganku—yang—terlalu—Ingin—tahu—Ini,
hampir memegang lukanya, “Ayah akan sembuh. Ingat kita punya obat merah
dirumah. Darahnya akan berhenti seperti luka bekas sepedamu dulu.”
Kata-katanya membuatku bergeming, luka ayah di kepala sedangkan punyaku hanya
di lutut.
Tubuh ayah berkelit menjauhi kobaran
api juga mayat-mayat yang berjatuhan. Namun dapat kulihat tangannya menangkis
sebuah benda tumpul yang hampir mengenai kepalaku.
Lebam biru terpampang jelas. Sebelum
ayah mencoba menyembunyikan lengannya.
Sedikit lagi, belokan menuju rumah
nenek ada di hadapan kami. Ayah mengeluarkanku dari gendongannya dan tersenyum,
“Sepertinya tubuhmu bertambah besar, sinar.”
Tangannya menuntunku untuk berjalan
menuju rumah nenek yang terlihat lenggang. Berbeda terbalik dengan pasar tadi.
Aku tau, lengan ayah sudah membiru.
Suara nafas ayah tersengal. Bahkan
aku takut jika ayah kehabisan nafas. Sesampainya kami di depan pintu, seseorang
menemuiku.
Perempuan bertudung yang kutarik ujung bajunya, namun aku tetap diam.
Aku hendak meneriaki ayah untuk tidak
mendekatinya. Namun ayah tersenyum senang mendekati perempuan itu berniat
meminta tolong, “Ci, tolong, Sinar—“ Belum usai ucapan ayah,
perempuan itu telah lebih dulu menusuk
perutnya.
Disusul teriakanku yang tercekat di
tenggorokan. Tentu saja perempuan itu berlari menjauh. Tangisku yang kembali
pecah dan ayah yang jatuh terjerebab berlumuran darah.
Saat itu kutau, ayah tidak akan
pernah memarahiku lagi. Saat itu juga semua orang dari dalam rumah berdatangan.
Membawa beras. Juga beberapa bahan yang tidak kumengerti. Bahkan bendera putih
seperti di rumah bibi kini terpajang di depan rumah nenek.
Kukira ayah hanya tertidur seperti
saat ibu meneriaki kami yang tengah tidur pagi setelah fajar menyingsing. Atau kelelahan
setelah pergi memancing. Ayah bahkan mendengkur dan aku menutup mulutnya dengan
tisu demi menihilkan suara dengkurannya.
Namun saat itu aku tau, ayah tidur
tidak lagi mendengkur, bahkan nafasnya tak pernah kudengar lagi. Bahkan senyum
ayah tidak ada lagi, saat namaku terpanggil dengan berderet gelar. Dan aku
bukan Sinar yang terduduk lemas menumpu wajah diatas meja.
Pada suatu keheningan
Mungkin lelap telah menerpa
Membangun tabir2 mimpi,
Yang terlihat seperti surga.
Pada suatu kegelapan
Ada sedikit lentera
Menyinari cerita
Untuk merubah segala arah.
Ranah dari tiap2 angan
Ranah dari tiap2 tujuan
Dan ranah dari tiap2 keegoisan
Kita saling belajar
Walaupun terlihat diam
Kita bisa mengerti keadaan
Kita adalah tiap2 hakim itu sendiri
Menyalahkan yang benar
Membuat benar yang salah
Namun itu semua pandangan
Dari tiap mata yang hanya memiliki dua bola
Padahal kita butuh berjuta bola untuk dapat melihat kebenarannya.
Diatasranjang, 29 agustus 2020
“Selamat ulang tahun, La!”
“I-iya selamat tahun-tahun!”
“Apa yang kamu harapkan?”
“Merelakan keluargaku yang telah pergi.”
***
Aku tidak tau jika kata-kata itu
seperti mantra yang memanggil sesuatu. Saat kulihat Revan telah membulatkan matanya,
bersamaan dengan sosok yang bertandang mengenakan jubah kelabu compang-camping.
Persis seperti cerita-cerita fantasi milikku yang sudah menumpuk pada loteng,
lelaki dengan jubah kelabu itu datang dengan kabut tipis yang mengelilingi
tubuhnya.
Sepertinya dia korban kebakaran, fikiran itu terlintas saat Revan beradu pandang denganku menyiratkan
kebingungan.
Namun, belum sempat ucapan diantara
kami terlontar untuk menanyakan, bagaimana
dia datang kesini atau kenapa dia ada
disini? Lelaki itu memecahkan keheningan diantara kami, “Kau ingin
keluargamu kembali bukan? Aku bisa mengabulkannya.”
Aku tidak peduli dengan Revan yang
memilih terus membuka mulutnya seperti corong minyak, tapi aku—dengan tergagu
mengatakan, “Te-tentu, tentu saja aku mau!”
Jika kau seorang gadis remaja yang
ditinggal mati oleh semua anggota keluarga, dan hidup dipenuhi oleh
fitnah-fitnah teman sekelasmu sendiri, mungkin kamu akan berfikir sama
denganku.
Mengharapkan keluargaku hidup lagi.
“Ah gadis tidak berpendirian, mari
kita buat harapanmu terkabul.” Kata-kata itu terucap dari bibirnya yang
terangkat sebelah. Terdengar sarkastis, namun tidak kupedulikan.
Aku tidak peduli! Biarkan keluargaku hidup kembali!
Perlahan, debu-debu keperakan
bertabur ketika tangan lelaki kelabu itu terangkat. Debu-debu itu berkelip
indah menggelilingi tubuhku. Kemudian berpilin, diselingi teriakan Revan yang
mencoba berucap, “JANG—“
Terlambat. Senja telah berganti
malam. Harapanku dikabulkan.
Kabut tipis dengan debu keperakan
yang sejak tadi berpilin pun, memudar. Semua benda terasa buram dimataku, bahkan
dinding rumahku terasa hampir rubuh, saat Revan dengan tidak sopannya menarik
rambutku dengan keras hingga kepalaku mendongak.
Lelaki berjubah hitam itu telah hilang
diantara gelapnya malam. Bersamaan dengan suara samar Revan yang mengakhiri kepergiannya,
“—GAN! Jangan La! Apa yang kau fikirkan?!”
Revan meraup wajahnya kasar. Namun beralih
menatapku kesal. Matanya yang terlihat tidak baik. Maksudku dia melotot dengan
segala murka yang hampir dikeluarkannya, jika seorang wanita dari dalam rumahku
tidak membuatnya terdiam tiba-tiba.
“Leila? Revan?”
Tidak hanya Revan yang terkejut. Aku
bahkan membuat kedua bibir ini tidak bersatu dengan degup jantung yang semakin
resah. Rasanya, anila sedang menampar hatiku.
3 tahun mereka meninggalkanku hidup sendirian.
3 tahun hidupku penuh dengan gunjingan.
Sebelumnya, aku bukanlah anak yang
suka dipeluk ataupun memeluk seseorang. Bahkan kedua orang tuaku sekalipun.
Mama sering bertanya mengapa aku tidak suka dipeluk. Dan hanya kujawab
sekenanya, kalian bau aku tidak suka.
Padahal semua itu dusta. Sebaliknya,
aku yang sering bermain tanah hingga cacing-cacing yang keluar kutarik hingga
putus, atau kecerbohanku yang bermain sepeda hingga jatuh ke dalam
gorong-gorong, juga hal lainnya yang membuat bajuku berwarna cokelat bahkan
hitam tanpa celah. Aku merasa malu untuk meminta pelukan saat tubuhku terjatuh
dengan air mata yang menggenang. Dan menyalahkan benda-benda tak bernyawa atas
kesalahanku.
Aku hanya terlalu skeptis untuk
meminta pelukan.
Atau memeluk seseorang duluan.
Tanpa peduli Revan, kedua kakiku
telah berlari. Memeluk seorang wanita yang tengah terkejut ketika kedua
tanganku melingkar ditubuhnya dengan erat. “Van? Lala ngga minum racun tikus
kan?”
Yang ditanya hanya terkekeh pelan.
Namun mengangguk cepat mengiyakan kata-kata Mama.
Kufikir ini hanya hayalan atau mimpi—yang
hampir membuat kepala ini terjun kedalam bak kamar mandi demi membenarkannya, sebelum
Revan berusaha bersikap wajar dengan menggenggam tanganku memasuki lantai
pualam, “Aku rasa, kamu terlihat senang.”
Ah, aku menyukai kepasrahan lelaki
ini.
Semuanya terlihat begitu
menyenangkan. Aku suka melihat mama yang tengah menyiapkan makan malam, dengan
papa yang terkadang mengeluhkan pekerjaannya sambil membicarakan topik ringan,
seperti halnya keanehan Revan yang tidak biasanya berkunjung kerumah ini dengan
beralasan sedang menemaniku bermain, karena sejak dulu kami selalu melempar
umpatan, bahkan pukulan.
Sementara itu, Loey dan Laila tengah
merebutkan permen kapas yang entah sejak kapan diberikan Revan kepada mereka—hanya
sebungkus. Namun Revan hanya mengedikkan bahu acuh terhadap tatapanku yang
kesal karena tangisan si kembar.
Bahkan kini pantatnya telah mendarat
sempurna pada sofa yang berada di sebelahku sambil berucap, “Salahin mamangnya,
aku ngga dibolehin ambil dua.”
“Kenapa?”
“Karena uangnya, hanya cukup beli
satu.” Cengiran khasnya terpancar. Tubuh tegapnya lebih memilih bersandar
sambil bersiul menatap pertengkaran si kembar yang saling melemparkan permen
kapas, sambil berteriak, “Aku laporin mama, nih!”
“Aku laporin polisi kalau gitu!”
“Polisinya udah mati! Kemarin
ditembak papa, Loey!”
Lelaki itu beralih. Kini pandangannya
lebih netral menatapku tanpa senyum, “Ngomong-ngomong, La. Kenapa—“
“—mau ambil keputusan ini?”
secepatnya kujeda kata-kata yang sempat keluar darinya.
Namun Revan membuat kedua alisku
mendekat. “Bukan, bukan itu. Tapi, ponselku salah tanggal. Lihat, tanggalnya
persis hari ulang tahunmu… Tapi, tahunnya berbeda.”
Awal kukira bahwa memang ponsel Revan
yang rusak. Namun saat kulihat layar ponselku, tanggal pada layar kami memang
sama. Bahkan kalender otomatis yang terpampang jelas diantara televisi
menunjukkan tanggal yang berbeda.
“Kak Lala! Loey monster!!!”
Leila berlari, bukan kearahku. Lebih
tepatnya Leila menghampiri Revan yang langsung memeluk tubuh mungilnya. Berharap
Loey tidak bisa membalas perlakuannya karena tangan jahil itu telah membakar
pantat Loey dengan korek api. Namun tak disangka telingaku menangkap umpatan,
“Sialan!” Revan mendesis kesal.
Wajahnya merah saat mataku menelusuk
tepat mengarah pada tubuh keduanya. Dengan senyum polos, Leila menekuk lututnya
menjadi sudut yang lebih tajam, tepat mengenai bagian terlarang milik Revan.
“Ewh..” Aku berjengit ngilu melihat
Revan tengah menahan kesakitannya. Dan berusaha mengambil Leila sebelum Revan
dengan tidak belas kasihnya melempar adikku ke lantai.
Hampir kuungkit kejadian tragisnya dengan
bertanya, apakah itu sakit sekali?
Namun Revan berdeham dan kembali
berbisik meneruskan ucapannya, “ekhm, maafkan yang tadi..” Revan berniat melanjutkan
ucapannya, “Aku rasa, lelaki compang camping tadi hanya membantumu untuk
mengubah sesuatu. Dia tidak benar-benar mengembalikan keluargamu dengan utuh.
Justru mengulangnya kembali, menarik waktu supaya kamu bisa menyelamatkan
semuanya. Atau, kamu kembali menyaksikan hal yang sama,”kata-kata Revan hampir
membuatku terdiam, jika saja lampu tidak padam tiba-tiba.
Aku teriak tanpa suara.
Disaat bersamaan—sebuah kue ulang
tahun berukuran sedang tergeletak dihadapanku dengan lilin besar bertuliskan angka—13.
Aku melihat Leila sudah berdiri diujung meja bersebelahan dengan Loey yang
menarik-narik kertas kado mereka. Ada Mama yang tersenyum lebar, dan jangan
lupakan Papa yang tengah menjaga lilin, agar tidak padam. Sedangkan Revan disampingku
tersenyum lembut menampilkan lesung pipinya.
Lelaki itu mencoba tetap bersikap biasa.
Alunan lagu ulang tahun yang sedikit
sumbang dari mulut Revan, tidak cukup mengganggu pendengaranku. Bahkan air
mataku hendak menetes saat kepalaku tertunduk kearah kue tersebut.
Kuakui, aku merindukan mereka. Selama
kepergian mereka, aku hanya bertahan hidup dengan uang asuransi kematian. Aku tidak
ingin meghubungi paman atau nenek, karena ku tahu hubungan keluarga ini tidak
cukup dekat dengan anggota lainnya. Papa dan mama diusir dari keluarga karena
tidak direstui, bahkan aku hanya terdiam iri ketika teman sebangku menceritakan
liburan semesternya yang pergi ke rumah nenek.
“Ayo kak, Lala. Lilinnya mau mati.”
Kalian yang akan mati hari ini. Kata-kataku datang bersamaan dengan ucapan Loey saat lilin-lilin
yang berpendar, hampir habis. Namun tidak sempat kuucap. karena api yang menyala
itu telah padam dari sumbunya—ditiup olehku.
Kuakui jika Revan pernah
mengalahkanku dalam pelajaran. Itu sedikit membuktikan otaknya lebih pintar
dariku. Omong-omong, Revan peringkat 22 dari 23 anak kelas.
Dan kesimpulan yang ia ambil dari
pengamatannya saat lelaki dengan jubah compang-camping mengabulkan permintaan
itu, masuk akal. Dapat kuingat, bahwa pembunuhan
keluargaku terjadi saat kami semua terlelap, tepat saat ulang tahunku. Maka
kali ini, aku mengajak Revan untuk tetap terjaga. Setelah perbincangan, juga
perayaan kecil-kecilan itu, aku beralasan ingin menonton film bersama Revan.
Dan tentu saja itu tidak mudah.
Karena, Loey merengek ingin tidur
denganku dengan wajah memprihatinkan, kak
Lala.. Aku ngga mau tidur sama Leila! Dia sering jilat kepalaku kalau tidur.
Juga, Leila yang terus menarik Loey
agar tidur dengannya. Ayo Loey.. udah
malem harus bobo.
Jadilah acara saling tarik menarik
itu berakhir dengan kami (aku dan Revan) yang bersandar pada sofa kamar dengan
mata yang hampir terlelap menahan kantuk. Awalnya Revan selalu mengingatkan
kami agar kami berdua tidak tergoda untuk tidur, disamping memasang telinga
baik-baik, jika saja ada sosok yang mengerikan bertandang. Hingga suaranya
seperti mesin generator yang selalu berdenging nyaring.
Satu menit kemudian, dia yang
tertidur duluan.
Beberapa menit kemudian, dengkuran
lelah kami memenuhi kamar.
Suara-suara aneh membangunkanku
diantara kantuk yang masih menyerang. Tak kusangka jika tidur kami yang
kemalaman membuat mataku menjadi sedikit bengkak saat matahari sudah menusuk
kulit. Pencegahan itu gagal.
“Lalu siapa ini?! Kau kira kucing
luar yang tiba-tiba menghamilinya?!”
Aku kenal pemilik suara itu, namun
Revan menarikku untuk kembali terdiam diantara sofa ruang tengah. Suara teriakan
penuh amarah itu berbalas dengan jawaban lembut, “Bukan, bukan seperti itu. Ma,
ini semua bisa kita bicarakan baik-baik..”
Jemari Revan mengerat membuatku
mengerti arah perkelahian yang sedang dilakukan oleh orang tuaku sendiri.
Samar-samar kulihat seorang wanita dengan perut yang setengah membuncit
menunduk disamping mama.
Dari balik sofa, mataku mencoba untuk
tetap mengintip apa yang diberikan oleh pendengaranku. Kulihat mama terlihat
marah. Piring kaca sudah tidak berada lagi ditempatnya. Matanya berair dengan
deras, juga asmanya yang mulai kambuh.
Mama terllihat kacau.
Belum sampai disitu, mataku beralih
pada Loey dan Laila yang terdiam saling berpelukan karena takut melihat
pertengkaran orang dewasa di depan kamarnya.
Revan mencoba mengambil adik kembarku
untuk duduk bersamanya berharap kedua bocah itu bisa tenang. Namun mataku mulai
memanas.
Aku tidak mengira jika pembunuhan
yang akan ku cegah, malah berbalik menghantarkan kejadian lain. Papa
bertanggung jawab. Sejak itu kedua orangku memilih bercerai. Dan mama mulai
tidak berbelas kasih dengan mengirim kami—anak-anaknya ke panti asuhan. Loey di
adopsi oleh sepasang suami istri yang kaya raya, sedangkan aku dan Leila
menjalani hidup di panti asuhan sampai besar.
***
“La?” Revan mengibaskan tangannya di
hadapanku, berharap tubuhku bukan korban dari santet saat ini.
Namun itu berhasil. Revan membuat
mataku mengerjap berkali-kali. Dan menjawabnya dengan asal. “Aku rasa,
pembunuhan keluargaku lebih baik.”
“Ha? Apa yang sedang kau fikirkan?”
Alisku sedikit mengerut kesal. Mulut
Revan tercium aroma aneh saat mengatakan ‘hah?’ namun tidak ku perpanjang lagi
dengan memberinya sedikit penjelasan.
“Maksudku, aku pernah berfikir untuk
mengembalikan keluargaku. Namun takdir Tuhan lebih baik untuk membunuh
semuanya. Karena jika mereka tetap hidup, aku mungkin akan lebih menderita
dengan gumpalan dendam. Kehilangan pada masa lalu membuatku sedikit terbuka.”