REMEMBER ME

Friday, September 04, 2020

 

AKU TIDAK pernah benar-benar menyukai ayah. Mungkin terlalu banyak amarah ayah yang hadir dalam ingatanku, walaupun kata ibu, aku selalu menjadi prioritas mereka.

Aku dapat mengingat dengan jelas ketika ayah memarahiku setelah pertemuan pertama di sekolah dasar. Yang pada awalnya ayah tampil di depan pintu dengan semangat demi menatapku, sementara aku malah terduduk lesu, sambil menumpu dagu di atas tangan karena karena tidak mengerti pembicaraan orang tua di depan meja yang bersebrangan dengan tempatku duduk.

Ayah memanggilnya ‘bu guru’. Maka sejak itu kupanggil setiap orang tua yang berpakaian persis seperti orang tua itu, sebagai ‘bu guru’. Walaupun ia memakai celana panjang dan kepala botak tanpa krudung.

Ayah juga sering memarahiku, mengatakan bahwa aku anak perempuan, tidak seharusnya pergi memancing di tengah persawahan—saat aku nekat menginjak batang padi yang baru ditanam, demi menyusulnya memancing ditengah petak sawah dengan celana putih bunga-bunga.

Namun tindakanku membuat kegiatan memancing ayah berakhir, dengan amarah ibu yang memuncak. Aku tertawa dalam hati, namun akhirnya ibu memukulku karena menyusahkannya demi mencuci celana putihku.

Aku juga penakut, namun Sinar kecil sepertiku selalu mandi saat ayah ingin mandi. Berharap aku bisa di temani, namun ayah berteriak kesal karena menungguku mandi berarti ia tertinggal jamaah di masjid.

Aku sinar kecil yang selalu ingin tahu, hingga menarik sarung ayah—yang membuatnya marah. Padahal aku ingin tahu kenapa ayah selalu memakai sarung saat pergi beribadah.

Bahkan saat ini, ayah tengah memarahiku karena aku keras kepala tidak mau ikut mereka berlibur kerumah nenek. Hingga aku harus diseret paksa, ditonton pohon-pohon jambu merah kesayangan paman.

“Biarin aku di sekolah atau di rumah!” kaki kecilku menyentak batu-batu bata yang tersusun. Namun ayah mencoba mengurangi intonasi suaranya. “Teman-temanmu libur, Sinar. Tidak ada orang di sekolah.”

“Yasudah, biarin aku mengobrol dengan tiang bendera saja. Asalkan tidak pergi ke rumah nenek.” Ayah tersenyum. Disusul tawa dari seberang bangku ayah yang kutau—tawa itu milik ibu.

Aku mengoceh sepanjang jalan. Bahwa rumah nenek tidak begitu enak. Rumahnya tidak bisa aku buat arena berlari karena terbuat dari kayu. Jalannya begitu becek dan beberapa hal yang membuatku tidak suka agar mereka menghentikan perjalanan ini.

Namun semuanya berakhir dengan aku yang tertangkap basah tengah dipangku nenek dengan setoples cokelat penuh.

Sesekali aku menerka apa yang orang-orang besar sering perbincangkan. Apakah mereka menceritakan dongeng yang sering kudengar, atau apakah mereka menonton film Barbie yang sama denganku dan dipta tonton?

Nyatanya mereka lebih rumit. Dan cokelatku lebih pahit.

Ayah membersihkan bekas cokelat yang hampir memenuhi separuh dari wajah putihku. Gigi putihnya terlihat sedang menahan tawa saat aku menelusupkan toples cokelat dibelakang punggung, “Ayah ngga boleh minta.”

Ayah tidak marah kali ini. Tangannya yang kekar memilih untuk menggendong tubuhku diantara dadanya yang bidang dan menunjuk jalan kearah pasar seakan hafal setiap pedagang di dalamnya, “Kau tau, Sinar. Di dalam toko itu, ada banyak esss…”

“…krim! Aku mau esttt krim!!!” Air liurku sedikit muncrat. Namun keadaan ini yang paling kusuka. Bukan liurku, tapi saat ayah menawarkanku eskrim.

Sebenarnya Ayah bukan orang yang membosankan seperti guru di kelasku. Bahkan, ayah sering mengungkit-ungkit hal kecil entah apapun itu demi mengajakku berbicara. Mungkin itu sebabnya juga aku selalu mengikutinya pergi hingga ke tengah petak sawah.

“Yang ini.” Aku menotol-notol es krim besar yang berjalan sambil memikirkan betapa kenyangnya aku memakan eskrim sebesar ini.

Es krim besar itu malah berjalan menjauh. Dengan rengutan kesal, tanganku memeluknya walaupun hanya sampai seperempat, berharap eskrim besar itu tidak lagi menjauh. Diam disini, aku akan memakanmu es kim!

Kutarik ujung conenya dan membuat seram wajahku berharap es krim besar berkaki itu takut dan berlutut di depanku meminta untuk ku makan saat itu juga.

“Itu bukan eskrim, Sinar.” Tutur ayah, tangannya langsung mengangkat tubuhku menuju lemari es berbentuk balok.

“Tapi itu eskrim,”bibirku mencebik kesal. Ternyata es krim besar dengan dua kaki itu tidak dapat ku makan. dan helaan nafas kecewaku terdengar jelas saat mendapati eskrim besar itu, tidak terlihat dimanapun.

Aku masih menginginkan es krim besar yang berjalan, namun Ayah memberikan eskrim berwarna cokelat dengan bintik berwarna-warni untukku.

“Kau tau, Sinar?”

Aku tetap memberenggut. Namun ayah masih mengajakku berbicara, “Eskrim ini selalu berubah.”

Aku tidak peduli.

“Saat es krim ini pertama keluar, bungkusnya akan terlihat besar. Lalu produksi berikutnya, bungkusnya akan sedikit mengecil. Setelah banyak orang yang memakannya, maka bungkusnya akan semakin kecil.” Jelas ayah lagi.

Dan itu membuatku menampilkan wajah polos dengan ketidakmengertian. “Apa nanti hilang?”

“Tidak juga.”jawab ayah. “Itu berarti, semuanya selalu berubah. Sinar bertambah dewasa, dan ayah akan pergi suatu hari,”

Aku semakin tidak mengerti arah pembicaraan ini namun tetap bertanya, “Kemana?”

Bukannya jawaban. Bibirku malah kembali memberenggut kesal mendengar pertanyaan ayah, “Kau mau ayah kemana?”

“Disini saja. Ibu ngga suka membelikanku eskrim seperti, Ayah.”

Ayah tertawa kecil menanggapi ucapanku. Persis saat nilai aku bisa membaca dengan tiba-tiba. Tangannya terangkat membereskan bekas eskrim yang ada diantara pipiku, namun tiba-tiba ayah memberikan tisunya, “Tunggu disini, Sinar. Ayah akan kembali.”

Bukan aku, jika tidak keras kepala. Kakiku tetap mengikuti langkah besar ayah seperti seorang detektif kecil yang bersembunyi dibalik pohon kecil.

Sinar kecil terlalu kentara untuk ayah tatap dengan jelas. “Jangan ikuti ayah! Tunggu disitu, sebentar saja, Sinar.”

Ayah berlari, tentu saja aku berlari. Namun ketika ayah memukul seseorang, aku bergeming. Es krim yang ada ditanganku jatuh entah kemana.

Aku sering melihat ayah memukul paku untuk membenarkan pintu rumah, namun tidak dengan manusia. Ayah sering memarahiku ketika aku memukul kucing tetangga. Ayah juga marah ketika aku memukul dipta dengan batu bata. Tapi, kenapa ayah memukul orang?

Adegan pemukulan itu sangat cepat, irisku terpaku pada ayah yang sudah mengunci tubuh seseorang yang berada di depannya. Untuk beberapa saat orang-orang berkerumun, membuat tubuhku yang kecil—tidak lagi melihat ayah.

Namun pendengaranku menangkap sesuatu yang terdengar nyaring. Seorang perempuan bertudung berteriak, “Bukan dia pelakunya! Tapi orang yang memukulnya!”

Dalam sekejap semuanya berubah. Didalam kerumunan kulihat bukan ayah yang keluar, namun lelaki yang sejak tadi diikat oleh ayah—berbalik ayahlah yang sekarang dipukuli oleh mereka.

Aku tidak mengerti. Namun tubuhku yang kecil mencoba masuk—dan tentu saja terlempar jauh. Suaraku yang memanggil-manggil ayah, teredam oleh orang-orang besar itu. Air mataku menetes cemas. Dapat kulihat dari celah mereka, tubuh ayah sudah meringkuk dengan lebam dan darah pada tubuhnya masih dipukuli oleh banyak orang.

Yang membuat tangisku semakin berderai saat itu juga.

Aku tidak bisa berbuat apapun. Selain menarik baju perempuan bertudung, “ayahku tolong ayah!” Yang langsung ditepis olehnya.

Bersamaan dengan itu, terdengar suara ledakan memekkakan telinga. Disusul orang-orang yang berlarian pontang-panting menjauhi jalanan timur. Tubuhku terseret arus manusia yang mencoba menyelamatkan diri dari kobaran api hingga menjauh dari tempat ayah dipukuli. Namun manusia-manusia besar itu terus mendorongku yang hampir tercebur ke dalam saluran air.

Untung saja tidak.

Ledakan demi ledakan menyusul. Hampir semua pertokoan hangus terbakar. Rasa takut membuat air mataku semakin deras membasahi pipi. Pertokoan dijarah. Pemilik toko tidak peduli dengan tokonya yang diambil paksa. Orang-orang saling memukul seperti yang ayah lakukan tadi, dan semua orang saling menyelamatkan diri sendiri tanpa peduli anak kecil yang lemah ini.

Kini aku merasakan pening lebih dari saat aku bermain bianglala bersama teman-temanku. Terbawa arus manusia, ke kanan juga dan ke kiri.

Namun saat tubuhku hampir terseret kembali, sebuah tangan mencegahnya untuk rubuh. Beberapa detik yang menyesakkan itu terbayar, dengan ayah yang membawaku kedalam gendongannya. Aku ingin berteriak senang, alih-alih bahagia, tangisku semakin pecah.

“Sinar, ayo pulang,” Sekilas kupingku tidak dapat mendengar apapun kecuali debuman yang beruntun dan teriakan orang-orang yang panik. Namun saat ayah berlari membelah kerumunan manusia, aku bisa mengendar ayah mengatakan, “Kita akan pulang sekarang.”

“Sinar, seharusnya kau sudah pulang sejak tadi. “ kata-katanya ayah terdengar defensif.

Namun aku mengelak, ibu akan marah kalau aku pulang tanpa ayah.

Sepersekian detik mataku menatap asap-asap yang membumbung semakin tinggi. Disusul debuman yang hampir mengenai kami. Dan kepala ayah yang mengucurkan darah segar.

Sepertinya ayah tau tanganku—yang—terlalu—Ingin—tahu—Ini, hampir memegang lukanya, “Ayah akan sembuh. Ingat kita punya obat merah dirumah. Darahnya akan berhenti seperti luka bekas sepedamu dulu.”

Kata-katanya membuatku bergeming, luka ayah di kepala sedangkan punyaku hanya di lutut.

Tubuh ayah berkelit menjauhi kobaran api juga mayat-mayat yang berjatuhan. Namun dapat kulihat tangannya menangkis sebuah benda tumpul yang hampir mengenai kepalaku.

Lebam biru terpampang jelas. Sebelum ayah mencoba menyembunyikan lengannya.

Sedikit lagi, belokan menuju rumah nenek ada di hadapan kami. Ayah mengeluarkanku dari gendongannya dan tersenyum, “Sepertinya tubuhmu bertambah besar, sinar.”

Tangannya menuntunku untuk berjalan menuju rumah nenek yang terlihat lenggang. Berbeda terbalik dengan pasar tadi.

Aku tau, lengan ayah sudah membiru.

Suara nafas ayah tersengal. Bahkan aku takut jika ayah kehabisan nafas. Sesampainya kami di depan pintu, seseorang menemuiku.

Perempuan bertudung yang kutarik ujung bajunya, namun aku tetap diam.

Aku hendak meneriaki ayah untuk tidak mendekatinya. Namun ayah tersenyum senang mendekati perempuan itu berniat meminta tolong, “Ci, tolong, Sinar—“ Belum usai ucapan ayah,

perempuan itu telah lebih dulu menusuk perutnya.

Disusul teriakanku yang tercekat di tenggorokan. Tentu saja perempuan itu berlari menjauh. Tangisku yang kembali pecah dan ayah yang jatuh terjerebab berlumuran darah.

Saat itu kutau, ayah tidak akan pernah memarahiku lagi. Saat itu juga semua orang dari dalam rumah berdatangan. Membawa beras. Juga beberapa bahan yang tidak kumengerti. Bahkan bendera putih seperti di rumah bibi kini terpajang di depan rumah nenek.

Kukira ayah hanya tertidur seperti saat ibu meneriaki kami yang tengah tidur pagi setelah fajar menyingsing. Atau kelelahan setelah pergi memancing. Ayah bahkan mendengkur dan aku menutup mulutnya dengan tisu demi menihilkan suara dengkurannya.

Namun saat itu aku tau, ayah tidur tidak lagi mendengkur, bahkan nafasnya tak pernah kudengar lagi. Bahkan senyum ayah tidak ada lagi, saat namaku terpanggil dengan berderet gelar. Dan aku bukan Sinar yang terduduk lemas menumpu wajah diatas meja.





You Might Also Like

7 komentar

About Me

Like us on Facebook

Popular Posts

Instagram