AOIFERGIELAR

Monday, August 17, 2020

Senja tersipu,

Saat permata biru hadir, ragu

Langkahnya tak sama seperti dulu

Membuatnya malu karena bodoh yang tak jua berlalu

------------------------------------------------------------------------------

 

“Seharusnya kau bisa lebih baik dari ini! Dasar, anak pembawa sial!” Seorang wanita paruh baya tengah berteriak kesal dengan kedua tangannya yang ia taruh diatas pinggang.

“M-maaf, a-aku tidak bisa melakukannya lagi ibu.” Langkah gadis itu terseok karena beberapa pecahan kaca yang mengenai telapak kakinya. Darah menetes dari luka yang menganga cukup besar.

Berbalik dengan merah kental yang keluar, bulir bening miliknya masih bertahan, walaupun raut wajahnya yang sedih tergambar dengan jelas. Hal seperti ini, bukan sekali ataupun dua kali dilakukan oleh ibu tirinya. Hinggga tubuh kurus itu, terbiasa diperlakukan seperti seorang budak, bukan lagi pembantu.

 “Apa yang kau lakukan!” ucap wanita itu lantang. Kembali sang ibu memukulkan vas pada lengannya.

Denting kaca yang bersentuhan dengan lantai pualam memekkakkan telinga. Disusul jantung yang kian berdetak semakin kencang.

“A-aku hanya ingin mengobati kakiku, ibu.” Nafasnya sedikit tersengal. Beberapa jam lalu ia tidak sedikit pun mengistirahatkan tubuhnya yang sudah diforsir untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah besar itu, sendirian.

“Seharusnya aku sudah membunuhmu sebulan yang lalu, Luna.”

 Wanita itu dengan cepat menarik rambut sang gadis, membuatnya meringis, dengan kepalanya yang mendongak sempurna menahan rasa sakit.

Tidak sampai disitu, wanita itu menarik kembali tubuhnya hingga membentur sudut meja yang tajam.

“A-ahh, s-sakitt ibu, tolong lepaskan.” Jeritan tertahan keluar dari bibir gadis itu.

Lagi. Tidak ada air mata, hanya wajahnya yang menahan rasa sakit yang terus menerus diberikan oleh ibu tirinya. Ia berusaha berdiri namun tidak bisa. Tetes darah kembali menetes pada dahinya.

“Aku sungguh mem-“

Klik

Layar televise itu menggelap, disusul suara seorang wanita dari balik kamar pengap.

“Laraaaaa….”

Gadis itu tau namanya disebut. Namun tubuhnya tetap bergeming.

“Laraa, tante tau kamu denger!”

Dengusan pertama keluar dari alat pernapasannya. Disusul dengusan lainnya. Hanya dua, tidak lebih. Akalnya menuntun kedua anggota berjalan untuk mendekati pemilik suara.

Dengan malasnya, kedua kaki bak model ternama itu, melangkah tanpa semangat. Dan memilih bergumam, “pasti disuruh anterin barang lagi, kalau ngga nyenyenye… dan bla bla bla….”

Sebelum sampai pada asal suara, sebuah dispenser cantik seakan melambaikan tubuh gempalnya untuk ia singgahi, dan berhenti demi meneguk beberapa cairan bening.

Namun belum sempat tegukan kedua itu memanjakan kerongkongannya yang kehausan. Sebuah suara kembali menyusul. “Ra, jangan lupa. Sore ini anterin pesenan ibu Asap, ya..”

Seketika air itu berubah kecut. Namun tidak ia dorong keluar dari mulutnya. Berakhir dengan suara kacau,

Uhuk-uhuk

Untuk sementara waktu, air hanya tersedak pada tenggorokannya. Namun tidak disangka air itu naik pada hidung, membuatnya terbatuk-batuk lebih keras.

Uhuk ohok uhok okuh okkkk

“Sekarang tan?”

Dengan langkah ragu. Gadis yang sejak tadi dipanggil dengan—Lara itu, mendekati tubuh seorang wanita dengan usia 40-an yang sedang mengoleskan darah-darah cair pada bibirnya—itu lipgloss, maaf.

Wanita yang sejak tadi menatap mesra cermin rias sambil mengecap bibirnya,berbalik tanya. “Emang langitnya udah sore, belum?”

Sekejap matanya beralih, membuka tirai yang menutupi kamar, lalu menatap langit senja yang sedang tersenyum padanya. Berharap ini adalah sebuah ilusi semata, namun berakhir nyata. Dengan bibir yang enggan terbuka,

“Nah berarti sekarang, Ra!”

Punya tante, nyebelin banget!

Sekarang fikiran Lara melalang buana. Memikirkan pesanan ibu Asap yang berjarak sangat jauh dari rumahnya.

Dimana kakinya harus menempuh perjalanan dari perempatan komplek, abis itu belok kanan, lalu menyebrangi selokan air, lalu melewati rumah Dipta (skip ini membuatnya senang), abis itu masuk jalan kecil masuk kedalam…lebih dalam.. dalam lagi, kalau ketemu lapangan jangan diem, tapi belok kanan.

Dan semua itu harus ditempuh dengan berjalan kaki?

Ugh! Mengesalkan!

“Ngga usah mikir aneh-aneh ya, Ra. Rumah ibu Asap cuman di sebelah. Tante tau, kamu bakalan nyeleneh otaknya.” ucapan itu membuat sudut bibirnya terangkat. Senyum kecut.

Benar juga, itu jalan berputar yang membuat langkahnya akan lebih jauh dari rumah ibu Asap.

Lara tau, Nay akan berangkat kerja ketika senja mulai menampilkan jingganya, dan Nay akan pulang ketika hampir subuh. Perkerjaan apa itu? kalian dapat menebaknya sendiri, karena Lara tidak ingin memberi tahu semua orang.

Kini wanita itu sedang memasukkan sesuatu kedalam tas hitam nan ramping yang akan melingkar pada tubuhnya.

Saat Nay masih baru tinggal dirumahnya, Lara tau semuanya harus dimulai dari awal. Membantu wanita itu salah satunya. Salah duanya, dia harus belajar lebih giat, bukan mengejar besiswa seperti anak pintar lainnya. Tapi Lara seperti anak teladan lainnya, ‘tidak ingin mengecewakan’.

 

“Awasss, kau pembunuh! Sekarang, biarin aku bunuh balik!”

Suara berisik nan melengking itu, berteriak dengan penuh gelora, berlari kearahnya dengan dengan sebuah senjata.

Seharusnya Lara harus berhati-hati, ketika keluar rumah. Dan mengamati keadaan diluar seperti apa. Kini hanya degup jantungnya yang terdengar sangat kencang melebihi jam dinding yang ada diruangan. Jangan lupakan bibirnya yang merapal mantra agar ia selamat.

Pemilik suara itu masih meneriakinya. Berlari mengejar Lara yang sedang pontang-panting sambil membawa sebuah bungkus pesanan. Bodo amat dengan bingkisan yang sudah berkali-kali terombang ambing dalam jemarinya, Lara sudah berfikiran aneh. Bahwa ajalnya akan datang sore ini juga. Setidaknya langit tengah tersenyum ketika jingga datang.

Sialnya, kini nafasnya begitu sesak. Terdengar lebih pada orang yang bengek. Namun kakinya harus terus menjaga jiwa agar tetap pada raganya. Hampir saja ia akan tertangkap. Namun tak bisa. Belum bisa tepatnya.

Ia menyesal, selalu mendengus ketika disuruh!

Berlari lebih cepat, Lara tak sanggup. Kakinya terlalu banyak bersandar pada lantai-lantai sejuk halaman depan. Begitu Lara pemalas, yang menyesal tidak pernah berolahraga ketika diajak sekalipun, kini tertangkap. Sebuah jemari tengah menahan tubuhnya seperti ikan yang tersangkut kail pancing.

“Jangan mati dulu.” Rapalnya dalam hati.

 “Aaaaa! Jangannn!!!”

Teriakannya percuma, kaosnya ditarik dengan keras. Tubuh krupuknya tidak sanggup menarik. Komplek perumahan itu selalu sepi. Tidak ada orang yang bisa menyelamatkan Lara dari,

“kak Lara ih, cepet pisan. Dinot capek nih!” kesal anak lelaki yang sejak tadi menggenggam pedang (mainan) ditangannya. Nafasnya lebih tersengal dari Lara, malah terdengar bengek dari hidung mungil nan hitamnya. Mungkin Lara akan menganggap anak itu akan mati.

Kampret Dinot!

Dinot adalah tetangga dekatnya. Lebih tepatnya adalah anak dalam jajaran silsilah keluarga ibu Asap yang kesekian. Namun dari banyaknya warga dalam rumah itu, Dinot lebih dekat dengan Lara. Entah mengapa, namun dapat ia tebak, alasannya karena kecantikannya.

“Eh Lara, akhirnya dateng juga. Dari tadi ibu tungguin loh.” Suara lembut itu membuatnya bernafas lega. Adegan kejar-kejaran itu diluar naskah.

Dapat Lara lihat, halaman rumah ibu Asap lebih luas dari rumah miliknya.  Dengan beberapa orang yang sedang menikmati acara keluarga. Disamping itu beberapa sapi (dagingnya) tengah terbakar.

Lara tidak ingin ada sesuatu yang mengganjal. Sebelum terjadi transaksi pemberian bingkisan dimulai. Tangannya dengan cepat membuka bingkisan. Berharap isinya tidak berantakan, karena kejadian konyol yang barusan ia lakukan. Tentunya bersama anak sambungnya.

“Syukurlah.” Itulah ucapan yang keluar, ketika seseorang seperti Lara tidak mendapatkan hal buruk.

Ibu Asap mendekat, dan bertanya seakan ia dapat membaca fikiran Lara, “Takut rusak ya, tadi ibu liat kamu lari kek dikejer anjing gitu, soalnya.”

“Anjingnya itu anak tante loh? Inget?” ujarnya dalam hati karena kalau sampai pada mulut, ini akan menjadi berita perbincangan satu keluarga ibu Asap dan tetangganya. Bahwa, Lara mengatai anaknya sebagai seekor anjing.

Namun ucapan yang tercekat itu disampaikan oleh anak sulungnya yang sejak tadi melihat Lara. “yang ngejer Lara tadi, ‘kan si Dinot. Berarti Dinot anjing dong, bu.”

Anak sulung itu berbakat.

Yang langsung mendapatkan pelototan dari sang ibu.

Tawa dalam hatinya buyar ketika bingkisan yang sejak tadi ia genggam telah berpindah kepemilikan jemari tangan. “Makasih ya, Ra. Ini ngga bakalan kenapa-kenapa kok. Walau kamu banting juga.”

Lah? Kenapa?

“Iya. Soalnya ini ini cuman jepit rambut pesanan ibu,”

Yang Lara tangkap plastik memang tidak mudah pecah. Namun setelah ibu Asap melanjutkan kata-katanya, Lara bergeming.

“Tuh, jepitnya buat Nala.” Ibu Asap menunjuk seorang gadis berumur 12 tahun. Sedang menangis, ketika seluruh rambutnya dipangkas sampai botak, gara-gara kutu yang bereproduksi semakin banyak.

Terus jepitnya buat apa?!

“Positif thinking, Ra. Jepitnya buat jewer telinga, Nala.” Akalnya mencoba meluruskan.

Senyuman simpul yang diberikan Lara, menutup pertemuannya dengan keluarga Ibu Asap. Kini tidak ada yang mengganggu waktunya untuk berduaan dengan laptop dan perkakas tulis miliknya. Ah jangan lupakan kue ulang tahun yang ada di dalam kulkas kamarnya sangat berwarna.

Setelah menunggu 365 hari, akhirnya Lara bisa kembali meniup lilin-lilin harapan yang tengah menyala dihadapannya kini. Tak ada yang mengganggu, bahkan hujan enggan untuk bertandang pada langit cerah. Kecuali ada buaya pipis—menurut kepercayaan orang awam.

 Anila yang bertiup pelan, berlomba-lomba dengan tiupan angina yang keluar dari mulutnya. Tak ingin kalah untuk meniup lilin-lilin yang kini tinggal seperempat bagian, Lara dengan liciknya menutup permukaan api dengan tangannya.

 Tidak ada yang mengucapkan, Lara tau dia seperti terlupakan. Namun memang keluarganya telah pergi dari sini. tidak ada lagi, bahkan tragedi mengenaskan masih terasa dalam hati. Ketika umurnya masih 12 tahun, dan dia harus menyaksikan keluarganya bersimbah darah pada rumah besar yang ada dibelakangnya. Sofa, kipas, kasur, menjadi saksi atas meregangnya jajaran kelurga besar. hanya tersisa dirinya, dan foto besar yang tersenyum, terkadang manis, kadang juga seram.

Rasanya memang tidak mudah untuk tidak memaki takdir tuhan atasnya. Namun malu lebih menguasai untuk kembali meminta maaf atas kelancangan yang ia perbuat.

Seharusnya ini waktu yang tepat untuknya merelakan semuanya.

“Aku berharap kalian bahagia.” ucap Lara, lemah. Harapannya terbang bersama asap-asap lilin yang tertiup angin.

Gadis itu pernah terpuruk, dan selalu menyalahkan tuhan atas kebuasan keluarganya sendiri yang tega membunuh ayah, ibu dan adiknya kandungnya dalam suatu malam sepi.

Kini, tahun ketiga setelah kematian, ingin rasanya ia rela. Merelakan semua yang telah pergi. Merelakan semua garis semesta yang pernah membuatnya jatuh dalam sedih.

Senyumnya hadir, menyita semua pasang mata untuk menatapnya tanpa berkedip. Sangat manis. Raut wajah yang sering dipuja, kini kembali cerah. Namun tidak sampai senja tenggelam dalam garis langit, sebuah kalimat membuat hatinya terdiam ragu.

“Kau ingin keluargamu hidup kembali, bukan? Aku bisa membantumu, Lara.” ucapan itu membuat tubuhnya mematung, disamping itu semua rasa yang kembali bertarung memperebutkan sang raga yang terlihat bingung.


You Might Also Like

15 komentar

  1. Bagusss ... ❤

    Kunjungi balik gan,
    Sama jangan lupa tinggalin komentar,


    https://aisurunihongo.blogspot.com/2020/08/lirik-terjemahan-peggies-centimeter.html?m=1

    ReplyDelete
  2. wah, saya suka, gaya pembawaan kita sama-sama dengan cerita, bisa saling belajar nih

    ReplyDelete
  3. boleh dikunjungi blog ku di vin-albertus.blogspot.com , hehehehe

    ReplyDelete
  4. Menghibur kok👍
    Saling kunjung!
    https://dunianetworking28.blogspot.com/2020/08/pengecekan-software-pada-cisco.html?m=1

    ReplyDelete
  5. Good kak, ditunggu kunjungan nya ya kak.

    https://www.viavinalionzone.my.id/2020/08/tips-memilih-potongan-rambut-pria.html?m=1

    ReplyDelete
  6. Replies
    1. semakin banyak komen = banyak pahala - kurang dosa = surga

      Delete
  7. Replies
    1. tambah komen = support = pahala = dosa ditanggung pembaca

      tciaaaattt!

      Delete

About Me

Like us on Facebook

Instagram