Snow White yang Salah
Friday, August 07, 2020“Mungkin kita bisa mementaskan drama Snow White pada
perpisahan kali ini, gimana menurut kalian?” Seorang gadis cantik tengah mengajukan
sebuah argumen dengan pensil kecil yang ia mainkan disamping pipi putihnya.
“Bagus, aku suka jadi ratunya, mirror mirror on the wall, who
is the most beautiful Lady on the land…” Lelaki disampingnya itu berdiri, menirukan
suara seorang ratu dengan kalimat yang sering digunakan ketika sang ratu
berbicara dengan cerminnya.
“Haha, kamu laki-laki, Ndru. Ngga pantes jadi ratu.” timpal
yang lainnya menertawakan tingkah lucu lelaki yang bernama Andra itu.
Perpisahan kelas 12 akan segera diadakan, mereka
bertiga-gadis berambut pendek yang mengusulkan itu bernama Dina, dengan lelaki
lucu disampingnya Andra, juga seorang gadis putih berambut panjang-Caca. Ini
bukan kesempatan, pada awalnya, mereka hanya ingin bersantai ria karena tidak
ingin mengikuti acara perpisahan yang terlihat rumit dan menyita waktu mereka.
Namun Caca, gadis dengan rambut panjang nan cantik itu menyeret keduanya
sebagai partisipan dalam pementasan drama kali ini.
“Apa pesan moral dari dongeng Snow White?” tanya seorang
lelaki dari balik tumpukan buku-buku usang, bagian rak sejarah dan peradaban.
Sekilas semua orang yang melingkari meja bundar itu terdiam, mendengar ucapan
lelaki yang kini tengah berjalan mendekat. Kini mereka sibuk saling melempar
pandang, mencari jawaban.
Satu. Dua. Tiga. Detik terus berjalan namun nihil sebuah
jawaban. Bahkan Andra sedang merutuki pertanyaan yang membuatnya terdiam
membisu.
“Sebuah drama tidak punya pesan moral?” tambah lelaki tadi.
Kini sebelah alisnya terangkat menunjukkan wajahnya yang terlihat menang tanpa hadirnya
seorang saingan.
“Sebuah kisah cinta? Dimana cinta dan kecantikan lebih kuat
dibanding kejahatan?” jawab seorang gadis berambut panjang.
“Nah itu dia.” Timpal dua lainnya, membenarkan perkataan
Caca.
“Kamu penolongku, Ca.” gumam Andra dalam hati. Wajahnya yang
sempat kusut, kini berubah cerah mempesona. Ini akan sangat memalukan, jika
mereka terus terdiam tanpa jawaban atas pertanyaan yang lelaki itu lontarkan.
“Sebenarnya bukan hanya itu, tapi aku rasa cukup. Sebuah
drama tanpa pesan moral akan membuat bingung penonton. Bahkan sinetron
abal-abal televise yang di rumahku saja punya pesan moral, jadi kalian harus
memikirkan pesan apa yang ingin disampaikan, baru mementaskannya.” Jawab lelaki
itu menambahkan. Langkahnya kemudian mendekati meja bundar tempat ketiganya
berbincang. Menarik pergelangan tangan seorang gadis, dan membawanya keluar
dari ruang perpustakaan. “Bel terakhir udah berbunyi dari setengah jam yang
lalu, ayo cepat pulang.”
Tingkah laki-laki itu membuat kedua teman Caca mengeluh,
menyumpahinya dengan segala umpatan, karena telah menarik salah satu temannya
disaat mereka tengah berdiskusi dengan serius. Namun tidak ada yang bisa mereka
katakan, selain Caca yang menurut, juga mereka yang sudah lelah. Mungkin lain
kali, Caca yang harus menyediakan tempat tanpa hadirnya Bagaskara secara
tiba-tiba.
Salsabila Alyrin Narendria, kamu bisa memanggilnya ‘Caca.’
Seorang gadis SMA dengan segala bakat yang mungkin bisa membuatmu iri, ataupun
pribadinya yang membuat ibu-ibu komplek menginginkan anak-anaknya seperti gadis
itu. Cantik, ramah dan apapun bisa ia lakukan, termasuk mengambil hati setiap
orang, namun gadis itu sedikit pemalu.
“Aku masih diskusi loh sama mereka, kenapa kamu narik-narik
gini, Ka.” Langkah keduanya telah menjauh dari gerbang sekolah, kini dihadapan
mereka berdiri sebuah rumah besar dengan taman luas yang dibatasi gerbang
tinggi.
“Tante Dira nitipin kamu disini, sore nanti aku ijinin kamu pulang
kalau tante Dira kesini. Makan dulu yuk, mama buatin capcai kesukaan Kamu.”
Jelas Bagas. Senyum simpulnya tergambar jelas, membuat lesung pada pipinya
tampak manis menatap Caca yang kini duduk disampingnya. Selalu. Bagas kadang
terlihat sesuka hati untuk melakukan sesuatu, seperti menarik gadis ini, disaat
diskusi yangtengah ia lakukan, namun dibalik itu ia punya perhitungan. Toh, perpisahan
akan sedikit lebih lama karena suatu hal, jadi menyita gadis itu untuk
menemaninya tidak akan terlalu meresahkan mereka.
Jangan berfikir mereka adalah sepsang kekasih, bahkan setiap
murid menganggap mereka sebagai sepasang kekasih, keduanya memiliki wajah yang
cukup baik, dengan bakat yang hampir sama, walaupun Bagas memperlakukan Caca seperti
seorang yang penting dalam hidupnya, tidak ada ucapan cinta yang keluar dari
mulutnya. Hanya perhatian lebih yang setiap hari Bagas limpahkan pada Gadis disampingnya
ini.
“Kok Mama ngga bilang Aku dulu? Sebenarnya anaknya Mama itu, Aku
atau Kamu?” ucap Gadis itu kesal, bibirnya mengerucut dengan kedua tangan yang
bersilang didepan dada. Walaupun bukan sekali dua kali Caca diperlakukan
seperti ini oleh Mamanya, namun tetap saja, setiap ia bertanya, hanya kekehan
yang dijawab Mamanya padanya.
“Ponsel kamu mana?” tanya Bagas, sebelah tangannya ia
julurkan seperti seorang penodong jalanan.
Namun gadis itu hanya menurut memberikan ponselnya.
“Kamu yang salah, habis baterainya?” Bagas menggoyang-goyangkan
ponsel dihadapan Caca, sambil kedua matanya menatap lamat gadis disampingnya.
Caca hanya menggeleng lemah. Ponsel itu tidak pernah
kehabisan baterai. Hanya saja..
“Kenapa kamu matiin terus? Lihat nih,” ucapan bagas terhenti
kembali menjulurkan tangannya agar Caca bisa melihat layar ponsel itu.
“Tante Dira nelpon kamu terus, udah ada pesan juga, kalau
kamu matiin terus ponselnya, nanti kalau ada apa-apa aku ngga bisa jemput
kamu.” Tatapan lekat Bagas pada kedua matanya membuat gadis itu menggaruk
tengkuknya yang tidak gatal.
Sebelum pipinya yang merah merekah hebat. Langkah gadis itu
dengan cepat menuju dapur, berniat mengambil makan siang. Perutnya tidak lapar,
hanya canggung jika Bagas terus seperti kakaknya bahkan lebih.
“Kalau ponselnya rusak, kamu bisa minta punya aku. Jangan
dimatiin terus, oke?” teriak Bagas dari ruang tengah, kini langkahnya terdengar
mendekat kearah dapur.
Ting.
Sebuah denting sendok tepat mengenai kuping caca. Membuat
tubuhnya terlonjak kaget menatap kesal lelaki disampingnya yang kini tengah
berdiri dengan tatapan lamat padanya.
“Makanya, kalau orang lagi ngomong didengerin dong, Ca.”
Bagas tertawa pelan sambil tangannya yang mengambil piring
bersih berniat ikut makan bersama gadis itu, di meja makan.
***
“Lain kali, kalau mau ajak Caca jangan ada Bagaslah.” Andra menggerutu
kesal disamping mulutnya yang berhenti menghisap es teh manis dihadapannya.
“Iya ih, tapi aku mau nanya Ca,” Dina berhenti sejenak
menatap wajah gadis dihadapannya itu menyelidik.
“Kenapa kamu sama Bagas bisa deket, gitu?” belum sempat Dina melanjutukan
ucapannya, Andra dengan cepat melontarkan pertanyaan yang membuat Caca menghentikan
suapan paginya.
“Maksudnya? Jangan buat gosip kek gitu, ngga baik heh, aku
deket sama bagas wajar ‘kan? Kita sebatas teman kok.” Jawab caca asal.
Pertanyaan itu membuat fikirannya bisa melayang pada bagas saat itu juga.
Plak!
Sebuah sendok alumunium keras dengan telak mengenai bahu
Andra. Dina tau, seharusnya hal ini tidak mereka bahas kembali. Walaupun
tergambar dengan jelas, cinta Caca bertepuk sebelah tangan, seperti sinetron tv
yang sering dia liat, atau novel roman anak sekolah yang sering ia baca saat
pelajaran dikelas.
“Dih ngga gosip lah, ini beneran fakta.” Andra tetap tidak
menghiraukan tingkah Dina, ucapannya itu terus terlontar tanpa beban. Mungkin
ini yang didefinisikan dengan tanpang tanpa dosa, atau lambe turah yang sering
bergosip ditengah-tengah masyarakat.
“tapi, walaupun bagas baik ke kamu, dia nyebelin banget,
kurang sosialisasi keknya Ca.” Dina melontarkan curahan hatinya atas sikap
Bagas yang memang semenyebalkan itu dimata setiap siswa.
“Permisi, boleh gabung bareng kalian? Aku rasa tempat
duduknya udah abis.” Suara seorang Gadis membuat percakapan mereka terhenti.
Juga Andra yang terpaku menatap Gadis yang kini tersenyum manis kearahnya itu.
“Senyumanmu mengubah duniaku,” tanpa berfikir lagi, ucapan
pelan itu keluar dari mulut Andra membuat sebuah sendok dengan telak mengenai
jidatnya.
“Dasar buaya!” keduanya mengejek kelakuan Andra, dengan air
es yang mereka cipratkan pada wajah lelaki itu.
“Aduh, sabar dong sayang, poligami itu dibolehkan, ya ngga, Rin?”
sontak pernyataan itu membuat ketiganya membuat wajah seakan memuntahkan
sesuatu dari mulut mereka. jijik endru!
Yang Andra fikirkan sebagai poligami adalah merekrut Arin
untuk menjadi anggota keempat dalam tempat duduk mereka yang hanya berisi dua
gadis juga lelaki yang hanya diisi oleh Andra. Terasa seperti seorang suami
yang sudah memiliki istri dua lalu kembali datang istri ketiga.
***
“Aku rasa jawaban gadis itu benar.” Bagas meggumam, membuat
Caca menengokkan kepalanya menatap Bagas yang kini tengah fokus menatap seorang
gadis berdiri membelakangi para siswa didepan papan tulis.
Bagas jarang sekali memuji, bahkan sejauh ini, pujian yang ia
ucapkan biasanya hanya dilontarkan untuk Caca, itupun disaat mereka saling
menyaingi dalam peringkat pararel sekolah.
“Ngga juga, rumus yang dia pakai terlalu panjang, itu bakal bikin
yang lain jadi bingung.” timpal caca dengan cepat, tangannya menggenggam erat
pulpen biru yang sejak tadi ia mainkan pada bibirnya.
Rasanya pujian itu berlebihan untuk seorang Arin, karena yang
ia tau Bagas tidak pernah memuji yang lainnya. Bahkan sering mengejek atau
apapun itu yang membuat teman-temannya kesal. Namun tidak dengan Caca.
“Kamu terdengar seperti ibu tiri, Ca.” kekeh bagas disela
pujiannya terhadap Arin.
“maksud kamu?”
Arin sudah kembali duduk diantara bangku murid, dengan
jawaban yang tepat. Walaupun benar, namun komentar Pak Doni atas rumus yang ia
tuliskan sedikit lebih panjang. Beberapa anak terdengar mengindahkan jawaban
gadis itu dengan pujian-pujian.
“Ibu tiri yang jahat, akan berkomentar jelek setiap perbuatan
anak tirinya, sekalipun itu perbuatan baik.” jelas bagas. Membuat gadis itu
bungkam untuk kembali menangkas pernyataan lelaki disampiingya.
“Apa aku terlihat seperti orang yang iri? Atau cemburu?”
kata-kata itu hadir diantara fikirannya yang entah tanpa ia rasa kini tubuhnya
tengah melamun.
“kamu ingat ibu tiri snow white? Putri cantik itu selalu
baik, tapi ratu terus iri terhadapnya.” tambah Bagas, sambil kedua tangannya
yang memasukkan sebuah buku kedalam ransel hitam miliknya.
Pelajaran fisika hari itu telah usai. Beberapa anak sudah berdiri
merapihkan alat tulisnya, dan berlalu pergi meninggalkan sekolah.
Disaat murid lain
tengah sibuk dengan alat-alat mereka, bahkan Dina terlihat tengah membereskan
alat-alat kosmetik yang ia simpan di dalam laci mejanya. Juga Andra yang terdengar sedang berdiskusi dengan teman-teman
gamers nya. Caca masih terlihat bingung untuk menjawab isi hatinya.
“Apa aku boleh pulang bareng kalian?” Suara itu membuat
aktivitas Caca dan Bagas terhenti, menatap seorang gadis yang tengah berdiri
disamping Caca dengan bandana biru menghiasi kepalanya.
“Maaf, tapi kami harus-“ ucapan lelaki itu terhenti.
“Boleh, ayo pulang bareng kita, Rin.” Senyum caca mengembang,
membuat Bagas menatap gadis disampingnya itu heran.
“Bukankah seorang ibu tiri selalu jahat? Aku hanya ingin
menjadi Snow White yang penuh kebaikan.” ucapan Caca membuat bibir Bagas
kembali bungkam. Bagas sangat mengerti percakapan diantara mereka, namun yang
tidak Bagas mengerti adalah kenapa Caca mengajak gadis itu bersama mereka
disaat mereka harus pergi mengunjungi tempat lain?
***
Hari ini, sebuah ujian fisika yang mungkin tidak biasa
dilakukan. Karena Pak Dino menyuruh beberapa orang secara acak untuk masuk
kedalam ruangan, dan bergantian ketika menit yang ditentukan telah habis. Yang
sudah pasti setiap murid berkeluh kesah merutuki ulangan yang Pak Doni berikan.
“Ca, kamu bawa pulpen, lagi?” Hari ini mungkin hari sial Arin,
karena bolpoin yang dia bawa sudah habis, disaat koperasi sekolah sedang tutup.
Pertanyaan itu membuat Caca terdiam sejenak, berfikir dan
melihat isi tasnya. “Ada Rin, aku bawa dua.”
Ada ragu yang terucap ketika gadis itu menjawab pertanyaan Arin,
namun hal itu tertutup oleh senyuman senang yang dilontarkan Arin, karena hari
ini dewi fortuna masih berpihak diposisinya. Masih ada teman yang mau
membantunya. Dan sepertinya seorang teman berharga akan Arin dapatkan disini.
Satu alis Bagas terangkat, menatap Caca yang kini terlihat
meremas jemarinya.
Beberapa murid yang dipanggil telah memasuki ruangan membuat
helaan nafas pasrah dan umpatan terhadap guru fisika mereka terdengar
beriringan.
“Bagaskara, Salsabila, Arinada…”
Takdir, mungkin itu tidak kesengajaan yang membuat Caca sedikit
gugup.
“Bapak masih berbelas kasih, jadi hanya ada waktu 20 menit
untuk 5 soal, kalian tidak perlu bersusah payah mencari contekan, karena bapak
mengacak seluruh soalnya.” jelas pak Doni berdiri didepan papan tulis
menerangkan teknisi ujian.
Satu. Dua. Tiga. Detik ujian dimulai, beberapa murid tengah
mengisi soal. Soal seperti ini bagi Bagas dan Caca tidak terlalu rumit,kamu pasti
akan berfikir sama jika menjadi seorang peringkat pararel sekolah. Dan berkali-kali
mengikuti olimpiade. Hanya satu menit untuk sebuah soal dapat mereka kerjakan
dengan cepat.
Beberapa menit berlalu, semua terlihat serius, walaupun
banyak yang merutuki ulangan yang terlihat sangat sulit ini. Namun tidak ketika
menit berlalu menyisahkan setengah waktu ujian.
“Duh, kok ngga nyala sih.” Arin menekan-nekan bolpoin
ditangannya berharap keajaiban datang. Bolpoin itu sama sekali tidak
mengeluarkan tinta.
Dan telak, ketika ujung pengisi bolpoin itu ia buka, matanya
menatap tidak percaya. “habis?” gumamnya dalam hati.
Detak jantungnya kini berpacu dengan detik yang terus
berjalan. Membuat keringat kini menetes diantara dahinya.
“Gimana dong?!” gumamnya panik kembali mencoba menekan-nekan
bolpoin itu diatas lembar kosong. 2 menit berlalu sia-sia tanpa ada coretan
pada lembaran miliknya. Jika alasan untuk mengambil bolpoin baru diluar, Arin
tidak akan sempat untuk meminjam kembali, bahkan akan terlihat sangat
memalukan. Ia gugup.
“Jangan bodoh, bolpoin itu udah abis, pakai ini.” Bagas
menyerahkan sebuah bolpoin biru yang masih terbungkus plastik kearah Arin.
“M-makasih.” Dengan tergagap, Arin mengambil bolpoin itu dan
menuliskan jawaban pada lembar kosong diatas mejanya.
Bagas hanya menggumam pelan, menanggapi.
Kini fikirannya beralih, bukan pada lembar soal dihadapannya.
Namun, pada Caca yang terlihat berbeda dari biasanya. Bahkan gadis itu
sebenarnya tau, temannya akan kesulitan. Kenapa dia tidak menegok kebelakang?
Barang sedikitpun?
Kemarin saat pelajaran usai, mereka seharusnya pergi ke toko
buku dan membeli segala alat yang kurang, juga titipan tante Dira, namun Caca
hanya menjawab ‘besok juga bisa kok, masih ada pulpen satu lagi.’
***
“Mama tiitp aku lagi Ka? Pelan-pelan jalannya, kita mau
kemana sih?” Lengan Caca ditarik perlahan, walaupun tidak kasar namun membuat Gadis
itu bertanya-tanya kemana tujuan mereka. Karena semenjak perkataan Bagas mengenai
ponsel yang selalu dihidupkan, mamanya akan memberi tau ketika dirinya akan
dititipkan pada Bagas.
“Ka, kita mau kemana sih?” Tidak ada jawaban, lelaki yang
berjalan didepannya itu hanya menarik pergelangan tangannya tanpa mau berkata
sedikitpun kepadanya.
“Eh Bagas, tunggu sebentar,” Suara seorang gadis yang baru berpapasan
dengan mereka dilorong, menghentikan langkah Bagas sejenak.
“Ini, makasih ya, maaf aku ngerepotin kamu.” Senyum Arin
mengembang mengembalikan bolpoin biru milik Bagas.
Deg!
Kini jantung caca tiba-tiba berdegup kencang, bukan seperti
jatuh cinta, atau rindu yang bersua, degupnya seperti seorang maling yang
tertangkap basah mengambil manga tetangga. Keringat dingin perlahan membasahi
jemari Caca. Membuat gadis itu menunduk, tidak ingin menatap gadis yang tengah
berhadapan dengan Bagas.
“Ngga usah, itu buat lo aja.” Ramah, terdengar ikhlas dari
ucapan Bagas memberikan bolpoin itu juga sebuah senyuman untuk Arin, dan hanya
sebuah anggukan kecil yang gadis itu lakukan. Bahkan pipinya kini bersemu merah
terlihat ragu untuk menerima kembali.
Apa ini akan menjadi
sebuah cinta lokasi?
Apa Bagas menyukai
Gadis itu?
Tanpa disengaja caca meremas kuat pakaian rok abu-abunya.
Entah apa yang ia rasakan sekarang, tapi jantungnya tidak ingin berbicara hanya
berdegup tanpa mengatakan sepatah kata. Bahkan langkahnya kini menjauh dari
keduanya. Kepalanya menunduk, membuat setetes air mata jatuh diantara pipi
mulusnya.
“Ca! Caca!” Bagas berteriak, mengejar langkah Gadis itu
melewati parkiran. Namun Caca tetap berjalan, bahkan hampir menyebranginya.
Namun tertahan oleh sebuah tangan kekar.
“Caca? Eh ini beneran kamu loh, udah lama ngga ketemu nih.
Ternyata kamu disini juga.” ujar seorang lelaki dengan kemeja biru yang ia
lampirkan pada bahu. Tubuh tingginya membuat gadis itu sedikit mendongak untuk
bersitatap dengan wajahnya.
“Ali?” Sebuah sapu tangan telah mengusap bekas sisa air mata
yang hadir di pipinya.
Caca tidak menyangka jika lelaki yang sekarang berada
dihadapannya adalah Ali. Lelaki itu seharusnya sudah pindah dari kota ini,
namun entah mengapa rasa senangnya saat bertemu lelaki itu tertutup oleh mendung
yang sejak tadi mengalun padanya.
“Ternyata hujan ngga turun dari langit juga ya, bidadari juga
bisa netesin hujan.” ucap lelaki itu sambil tertawa kecil menatap gadis yang
kini menunduk malu, karena terlihat cengeng dengan hal sepele yang ia buat
sendiri, atau mungkin cemburu karena seseorang?
Caca tidak mengerti dirinya sendiri.
“Udah.. udah jangan nangis, mau dianter pulang?”
Gelengan cepat yang Caca lontarkan membuat lelaki itu
tergelak. Bahkan banyak gadis SMA yang ingin diantar olehnya. Mungkin Caca
pengecualian, walaupun dulu mereka sering pulang bersama. Bahkan gadis itu
sering bergantung padanya.
“Jangan sendirian, bukan culik yang ada, tapi lebih parah
kamu nanti dikira anak ilang.” Tangannya kembali ditarik menuju motor besar
berwarna mewah terang.
“Ayo naik.”
Satu yang Caca sesali, dirinya sering menolak ajakan orang
lain. Bahkan Andra dan Dina pernah Ia tolak untuk pulang bersama, namun
pengecualian untuk dua orang ini. Kini tangannya menggapai bahu Ali mencoba
menaiki motor besarnya yang tinggi.
“Kamu pulang bareng aku, Ca.” tiba-tiba tangan Bagas menahan
tubuhnya untuk kembali mencoba naik keatas motor merah Ali.
“Tante Dira sekarang nitip Caca sama lo?” Ali berhenti,
mematikan mesin motornya menatap bagas yang kini tengah menahan tangan Caca.
Seharusnya ini
perjumpaan yang menyenangkan, karena mereka adalah teman lama, disaat Ali harus
pindah kota menyisahkan Bagas dan Caca berdua. Kini ia kembali, namun dengan
keadaan yang sudah berbeda.
“Ngga, mama ngga nitipin aku sama kamu, jangan buat aku jadi
ratu jahat yang selalu iri karena Snow White yang asli ada disini.” Rasanya
Caca ingin menangis untuk kedua kalinya. Bibir bawahnya ia gigit, agar air mata
tidak kembali menetes membuatnya terlihat seperti seorang gadis yang tertangkap
basah tengah cemburu dihadapan lelaki idamannya.
Lelaki itu hanya mengerutkan dahi tanda tak mengerti atas
semua ucapan Caca.
“sekarang aku terlihat seperti ratu jahat yang memberi apel
kepada Snow White. Aku kira Snow White itu aku sendiri, tapi ternyata salah,
aku seorang ratu jahat yang selalu iri walaupun semuanya telah kumiliki.” Caca
dengan cepat menepis tangan Bagas membuat lelaki itu terdiam bingung. Selama
ini gadis itu tidak pernah menolak perintahnya, bahkan selalu menjadi
prioritasnya.
“Ngga gitu Ca,”
“Gitu gimana?! Kamu narik aku dengan embel-embel pulang, padahal
kamu mau buat aku ngakuin kesalahan aku, gara-gara aku sengaja ngasih pulpen
kosong itu ke Arin, iya ‘kan!”
Gadis itu tau kesalahannya. Namun Bagas tidak mengerti
alasannya. Dan memang benar, niatnya mengajak Gadis itu pulang cepat, agar ia
bisa bertanya banyak tentang sikap Caca seperti itu.
Kini matanya hanya bisa menatap sendu kepergian gadis itu
dengan seorang lelaki yang sejak dulu Caca sukai. Gagal, mungkin dirinya gagal
untuk kembali mengambil hati gadis itu, bahkan nuansa terasa suram membuatnya
kini berjalan tanpa arah tujuan.
“Al, rumahku didepan.” Caca memperingatkan, agar lelaki yang
duduk didepannya itu menghentikan motornya.
Namun seperti tidak mendengar apapun, Ali tetap menambah
kecepatan motor besarnya melewati blok rumah Caca. Membuat gadis itu berteriak
kesal, juga menanyakan apa yang ingin ia lakukan.
Tiba mereka pada sebuah rumah kosong besar dengan tumbuhan
liar yang telah tumbuh tinggi. Itu rumah Ali, dulu mereka-termasuk Bagas, sering
bermain dihalaman luasnya.
“Mau apa kita kesini?”
Ali tidak menjawab hanya memberikan sebuah bingkisan kecil
bergambar apel merah.
“Tadi aku denger kamu berantem sama Bagas, duduk dulu
sebentar, kamu masih suka cokelat ‘kan?” Ali membuka kotak merah yang ia
genggam, menuntun Caca untuk duduk diantara gazebo yang berada dihalaman rumah
tua.
Gadis itu hanya terkekeh pelan, membuat mata sipitnya
sempurna membentuk bulan sabit. Kini tangannya mengambil sebuah cokelat dengan
bentuk apel berwarna merah.
“jangan dipandang terus, dimakan. Katanya cokelat bisa buat
mood kamu baik.” Ali tersenyum senang menampilkan gigi-gigi putihnya menatap
gadis itu lamat.
Sesaat rasanya aneh jika Ali tiba-tiba datang. Namun fikiran
itu ia tepis dengan cepat, dan langsung memsukkan cokelat berbentuk apel itu
kedalam mulutnya.
“enak ‘kan?” ucap Ali kembali, angin sore perlahan menerbangkan
helai-helai rambut hitamnya.
“enak kok, kamu beli di-“ ucapan Caca tidak berlanjut, hanya
senyum simpul yang ia berikan. “Aku tau, sejak dua bulan yang lalu Ali sudah
tiada.” Senyum gadis itu memudar, sebelum kepalanya sempurna jatuh pada
kayu-kayu lapuk, tangan lelaki disampingnya telah lebih dulu menangkap tubuh
Caca, menangkupnya pada kedua tangan.
“ini pilihan, aku tau kamu akan kembali pada kotak-kotak kaca
milikku.” Lelaki itu tersenyum senang, bahkan mendapatkan miliknya kali lebih
mudah dari pada harus mengambil hati Lala.
Kini, untuk kedua kalinya, Esok mendapatkan koleksi miliknya.
0 komentar