Pasir Ajaib Pak Tua Pelit

Saturday, August 15, 2020

 


Dahulu kala, sebuah pasir ajaib berwarna perak dapat mengobati segala jenis penyakit. Bahkan membuat sang pemiliknya akan masyhur. Berbeda dengan debu emas yang diyakini oleh setiap masyarakat akan membawa harta kekayaan mereka menjadi berlimpah ruah takkan habis dikikis masa. Setiap orang berencana untuk mengambilnya dari tangan seorang pak tua yang menjaganya didalam hutan bambu lebat. Dulu setiap orang bisa memintanya, namun sang pak tua yang dulu sering membagi, kini terkenal sangat pelit. Pak tua yang pernah tinggal dikerajaan itu akhirnya membawa seluruh pasir emas dan peraknya kedalam hutan bambu, berpagar pasak-pasak perak raksasa agar setiap orang tidak bisa melewatinya.

Demi menampungnya, pak tua itu selalu membangun bendungan baru setiap satu bulan sekali,  tidak boleh ada pasir perak yang tercecer terbawa arus sungai menuju pemukiman penduduk. Tentu saja semua pasir-pasir itu akan ia simpan untuk dirinya sendiri. Pak tua yang tinggal sendirian sering diperbincangkan oleh warga dan menyangka bahwa kesendiriannya itu karena ia sangat pelit untuk sekadar berbagi, dulu ia mempunyai sebuah keluarga bahagia,  2 anak gadis, 1 anak lelaki gagah dan seorang istri cantik jelita. Namun semuanya berakhir ketika sebuah kepulangannya dari kerajaan. Sekarang hanya ada seorang anak lelaki kecil yang pernah ia temukan kelaparan dipinggir jalan untuk hidup bersamanya dirumah kecil yang bersebelahan dengan pohon bambu besar.

“Aku tidak ingin menceritakannya padamu.” ucapan sang pak tua terhenti. Kisah yang sedang ia ceritakan berhenti ditengah jalan, membuat seorang anak lelaki mengeluhkan ketidak selesaian cerita itu. “Sedikit lagi, bagaimana keluargamu, Pak?” tanya anak lelaki itu penasaran.

Sejak dulu, pak tua tidak pernah melanjutkan ceritanya. Banyak kisah yang ia berikan pada anak lelaki itu, berharap ia dapat menjadi seorang yang bijak dalam hidup dengan menceritakan hidup orang lain sebagai pelajaran. Namun tidak dengan pasir-pasir dan keluarganya yang telah tiada. Itu sebuah rahasia yang entah rasanya pak tua tidak berani menceritakannya.

Semakin hari pak tua itu semakin renta, namun tubuhnya yang tua selalu giat membangun bendungan besar untuk menampung pasir-pasirnya yang terus keluar dari bambu besar. setiap hari anak lelaki bernama Juni itu keluar dari hutan bambu demi membeli makanan untuk ia dan pak tua yang sudah ia anggap sebagai ayah kandungnya sendiri.

Hari terus berlalu, tidak ada yang berbeda dari hari-hari sebelumnya, Juni sering membantu pak tua dan membagi cerita mereka. Namun tidak, ketika suatu hari ia sedang berjalan kepasar, iris matanya menemukan seorang gadis cantik tengah mengais bulir-bulir padi yang terjatuh dari bakul besar dan seorang wanita yang tengah memarahinya. Pakaian mereka berbanding terbalik, sang gadis memakai pakaian lusuh yang sudah robek laiknya seorang budak, dan wanita yang memarahinya memakai pakaian sutra seperti anggota kerajaan.

“Cepat bereskan!” Suara wanita itu membuat seluruh pengunjung pasar memandang mereka penasaran. Rasa iba hadir melihat gadis yang sedang memungut bulir-bulir padi, namun rasa takut mereka pada wanita kerajaan yang tengah marah, membuat mereka tidak berani menolong sang gadis. Termasuk Juni, lelaki itu terlihat acuh, namun perhatiannya tetap penuh pada sang gadis cantik itu.

Sepulang dari pasar, Juni berniat untuk menceritakan kejadian yang ia lihat dipasar. Namun sebelum bibirnya mengatakan sesuatu, pak tua telah lebih dulu mengatakannya, “Juni, setiap orang yang memiliki jabatan tinggi membuat mereka merasa sebanding dengan derajat tuhan. Kesombongan adalah hal yang wajar dimiliki manusia karena mereka tidak sempurna, namun tidak wajar jika kamu menyombongkan diri dihadapan penciptamu sendiri. Jadi bagian mana yang akan kamu ceritakan? Gadis cantik yang menarik perhatianmu atau wanita sombong yang kau temui?” ucapan sang pak tua membuatnya tergelak. Tidak pernah pak tua itu membuatnya terkejut. Pak tua ini lebih tau apa yang ada difikirannya. Sebelum ia berani untuk bercerita, kata-kata pak tua membuatnya terdiam sesaat dan tersenyum malu ketika gadis cantik yang menarik perhatiannya telah lebih dulu diketahui.

“Wajar jika kamu menyukainya, dia gadis yang cukup cantik dan baik.” Lanjut pak tua. Ingin sekali Juni menceritakan betapa bahagia dan sedih yang menyelimuti dirinya secara bersamaan ketika melihat gadis pujaannya seperti budak. Namun fikirnya itu terhenti kala pak tua menyambung kembali ucapannya. “bagaimana jika cintamu hanya bertepuk sebelah tangan? Bagaimana jika gadis itu telah dijodohkan dengan lelaki yang lebih tampan, Juni?”

Pernyataan itu membuat wajah kusut Juni terlihat kentara, pak tua ini suka sekali mengejeknya. Rentetan cerita bahagia yang akan ia ceritakan rasanya sudah tertelan bulat-bulat oleh omongan pak tua.

***

“Haha, kau masih marah karena ucapanku, Juni?” tawa pak tua terdengar lepas. Membuat wajah Juni kini tertekuk kusut. Pak tua memang bercanda perihal gadis yang Juni temui di pasar. sebenarnya ia tau siapa gadis yang Juni katakan, dan wanita bangsawan yang memarahinya, pak tua bisa membaca dari fikiran lelaki itu, walaupun selama ini Juni tidak pernah tau jika ia bisa membaca fikirannya.

“Jangan terus mengejekku.” Rutuk Juni kesal.

Keesokan harinya Juni kembali mencari persediaan makanan, saat langkahnya belum sedikitpun sampai di pasar, seorang yang terduduk diantara batu besar telah mencuri perhatiannya. Keadaannya buruk, luka-luka memar dan sebagian darah mengalir dari pipi mulusnya. Kakinya terus mengeluarkan darah dengan luka tusuk pada bagian perut membuat Juni menatapnya nanar. Tanpa didekati, Juni tau gadis itu. gadis yang ia temukan di pasar kini keadaannya lebih mengenaskan.

“t-tolong aku tuan, kau pasti orang baik, tolong aku selamatkan aku dan bayiku.”

Bayinya? Gadis itu sudah bersuami? Fikiran Juni terus melayang pada pembicaraannya dengan pak tua kemarin. Apakah benar ia akan bertepuk sebelah tangan?

Genggaman pada tangannya mengerat, gadis itu terlihat sangat menyedihkan. Membuat Juni iba dan membawanya kembali menuju hutan bambu dengan hati yang teriris.

***

“Kamu tidak jadi membeli makanan?” Suara pak tua membuat Juni terbangun dari lamunannya. Debu perak pak tua bisa menyembuhkan sang gadis, kedatangan Juni yang menggendong gadis cantik itu kedalam hutan membuat pak tua sedikit terkejut, namun dengan cepat debu peraknya menyembuhkan luka sang gadis. “Hey, kamu tidak melamunkan gadis itu bukan?” pertanyaan pak tua kini selalu telak membuatnya menggaruk tengkuk yang tidak gatal.

“semua orang bisa jatuh cinta, namun tidak semua orang punya pembalasan, Juni.”

“tapi sebelumnya kau mengatakan dia adalah gadis baik, pak tua. Dimana letak kebaikannya? Aku rasa dia adalah seorang jalang.” ucapan Juni membuat pak tua terdiam-mafhum. Perkataan Juni memang benar, gadis itu adalah budak, namun ia tetap gadis baik yang tidak melakukan kesalahan atas kehendaknya sendiri.

“Lalu? Kamu menyesal telah menyelamatkannya?” tanya pak tua, sudut bibirnya tersenyum kecil.

Juni tidak pernah berfikir akan menyesal telah menyelamatkan seseorang, namun rasanya ia menjadi kesal, entah karena gadis itu telah di perbudak atau cintanya yang ternyata akan bertepuk sebelah tangan. Beberapa hari telah berlalu, gadis cantik yang Juni bawa bernama Arin, sekarang tubuhnya telah sembuh total, bahkan luka-luka yang ada ditubuhnya telah hilang sempurna. Arin memang sempat bersedih, namun Juni bisa membuatnya tersenyum kembali, gadis itu memang baik, pak tua benar jika gadis itu adalah orang yang baik, senyumnya yang manis membuat Juni kembali jatuh hati.

Saat penampilan gadis itu telah berubah, semua orang yang ada disana tidak mengenalinya, wajahnya yang sangat cantik membuat banyak lelaki terpana. Namun cinta Juni tidak bertepuk sebelah tangan, lelaki tampan itu membuat Arin menjatuhkan hati. Kini mereka berdua tengah membeli persediaan bahan makanan dipasar, setiap mata tertuju padanya membuat gadis itu tersipu malu, terkadang menyembunyikan wajahnya dari balik jubah Juni. Namun saat keduanya berhenti, tepat saat mereka melihat seorang wanita berpakaian kerajaan tengah memarahi seorang gadis hitam yang mengais bulir padi, persis sepertinya dulu. Hatinya iba, namun Juni menahannya agar tidak mendekat. Arin tau rasanya berada diposisi gadis itu, namun tidak ada yang dapat ia lakukan. Tiba-tiba sebuah keinginan untuk balas dendam hadir difikirannya.

Keesokan harinya, saat Juni dan pak tua sibuk dengan bendungan mereka. Arin kembali menuju pasar dan melihat wanita itu bersama suaminya. Cukup mudah baginya untuk menggoda suami sang wanita. Ia tau, lelaki itu sejak dulu memang pejabat kerajaan yang tidak bermoral. Jodoh memang tidak jauh dari pribadinya sendiri, istrinya sama tidak bermoral dengannya.

“Ah maafkan aku tuan.” Air yang sengaja Arin tumpahkan pada pakaian lelaki itu sukses mengalihkan perhatian. Tidak ada umpatan ia ucapkan melaikan pujian. “tidak apa, tidak usah meminta maaf. Siapa namamu gadis cantik?”

Sorak-sorak iblis dalam hatinya terdengar bersorak riuh. Senyumnya mengembang sempurna. Arin berhasil menyita perhatian sang pejabat laknat. Kini ia bisa menebak betapa merah padamnya wajah sang istri karena cemburu. Bahkan hubungan mereka terlihat semakin dekat, pak tua dan Juni tidak mengetahui hal ini. Cintanya masih ia labuhkan pada lelaki itu, namun pejabat ini bisa ia gunakan sebagai alat balas dendam. Semakin lama pejabat tinggi itu terus mendatanginya, bahkan tidak segan-segan jika mereka bertemu, sang istri ia acuhkan demi bisa bersama dengan Arin,membuat gadis itu tersenyum bangga.

Puncak keberhasilannya tercapai, pejabat laknat itu menginginkannya sebagai istri. “aku bersedia, tapi aku tidak ingin diduakan.” Persyaratan itu membuat sang pejabat tanpa berfikir panjang untuk menceraikan istrinya dengan cepat agar Arin bisa ia persunting.

Tanpa disangka, sebelum semuanya terjadi, wanita congkak itu sudah tau, dari mana Arin berasal. Ia ingat, gadis itu adalah budak yang dulu pernah ia jual kepada para lelaki bejat. Dan lebih dari itu, ia tau dari mana semua harta yang gadis itu dapat. Sejauh pernikahannya, wanita itu hanya mengincar harta suaminya, ketika seorang gadis terlihat dekat dengan suaminya, ia memang cemburu, namun bukan cemburu karena ia mencintai suaminya, wanita itu cemburu jika nanti harta suaminya akan jatuh kepada wanita lain.

Saat Arin tengah bersiap untuk kembali menemui sang pejabat, langkahnya terhenti. Juni telah berdiri diambang pintu, wajahnya terlihat menahan kekesalan.

“Apa yang kamu lakukan?” tanya lelaki itu, suaranya kembali melembut mencoba menahan amarah. Arin tetap mengggelengkan kepalanya. Ia tidak mengerti apa yang dikatakan Juni. Namun ia terkejut ketika melihat pak tua sudah berlumuran darah terduduk diatas bangku lapuk. Dengan prajurit-prajurit bertubuh kekar mengelilinginya. Matanya langsung tertuju pada sepasang suami istri yang tengah berdiri tersenyum penuh arti.

“Aku tau, kamu memang gadis keberuntunganku. Sejak dulu, saat aku menjadikanmu budak dan menjualmu pada pria-pria bejat, kau selalu menghasilkan keberuntungan. Kini kau mengantarkanku pada kemewahan yang tak terhingga.” Tawa seram sang wanita terlihat puas. Memenuhi setiap jengkal hutan bambu mengalahkan riuhnya angin.

Dahulu pasak pembatas hutan dibuat, agar warga tidak masuk kedalam hutan dan tidak mengambil pasir-pasir milik pak tua. Kini kecerobohannya membuat mereka terpuruk.  Karena diam-diam ia telah dibuntuti wanita itu, membuatnya tau bagaimana cara membuka pasak-pasak pembatas agar seseorang dapat masuk kedalam hutan bambu. Pejabat itu tersenyum bahagia melihat istrinya sangat berguna, ia tidak jadi menceraikannya dan memerintahkan prajurit-prajurit itu untuk  menangkap mereka bertiga.

“Jangan, jangan ambil pasir-pasir berharga itu.” Cegah pak tua, tangannya yang sudah berlumuran darah mencoba menggenggam tangan wanita yang tengah berdiri dihadapnnya dengan angkuh.

“kau memang pak tua pelit!” cerca wanita itu dengan cepat tangannya menepis, tidak ingin bersentuhan dengan jemari menjijikkan pak tua yang berlumuran darah.

“Tidak Anna! Aku tidak pernah membaginya karena kalian! Pasir perak itu dapat menyembuhkan, namun kalian tidak pernah berfikir jika nanti manusia akan terus bergantung pada pasir-pasir itu? membuat para tabib tidak usah berkerja keras untuk mencari pengobatan yang ampuh. Dan pasir emas itu,” ucapan pak tua terhenti, air matanya mengalir. Sejak dulu tidak pernah ia bercerita pada Juni atau siapapun kenapa ia harus menyembunyikan pasir-pasir berharganya kedalam hutan. Kini saatnya semua pertanyaan itu terjawab.

“Pasir-pasir emas, dapat membuat pemiliknya menjadi kaya raya, sejak dulu 3 beradik yang selalu meperebutkan kepemilikan pasir-pasir itu, dan berani membunuh ibunya sendiri demi mendapatkan pasir-pasir emas dari sang ayah. Anna, tidakkah kamu ingat, siapa saja yang telah kamu bunuh?” sorot kesedihan terpancar dari wajah pak tua. Dadanya sesak menahan nyeri yang hadir ketika masa lalunya harus dikorek habis saat ini. Tidak ada lagi rahasia yang harus ia sembunyikan demi nama sang anak. Ia telah jengah, semua harus ia jelaskan sebelum malaikat-malaikat hadir merenggut senyumanya.

“Cepat tangkap pak tua ini!” wanita itu kalut, semua yang dibicarakan pak tua benar, namun ia tidak ingin sang suami mengetahui hati busuknya. Bahkan pak tua itu enggan untuk ia panggil ayah.

Juni memandang keluarga didepannya dengan iba, tidak disangka berkali-kali pak tua menutupi cerita tentang keluarganya agar nama sang anak tetap terlihat baik dimata masyarakat. Bahkan keluarganya yang dulu pernah membuangnya tidak sebanding dengan penderitaan pak tua yang harus hidup sendirian menahan sedih yang terus menghantuinya.

Arin menyesal, seharusnya membalaskan dendam adalah hal yang salah.Kini mereka tetap berakhir didalam penjara kerajaan.



You Might Also Like

2 komentar

About Me

Like us on Facebook

Popular Posts

Instagram