AOIFERGIELAR
Thursday, August 27, 2020
Awalnya, kukira tidak akan ada yang tertarik. Namun, sejak
kedatangan sepasang suami istri dan seorang anak gadis mereka, kehidupanku
berubah. Ya, maksudku ‘aku dibeli oleh mereka’.
Sudah kutebak, keluarga yang sudah mengadposiku ini tidak
bergelimang harta. Malah kudengar, lelaki yang menjadi suaminya itu meminjam
duit untuk membeliku dari pemilik toko perhiasan.
“Aku ngga mau, kalung
ini jelek!”
Aku tersinggung ketika mendengar suara penolakannya, “Hei
Puan, siapa juga yang ingin bersama kalian!”
Kudengar gadis itu menolakku, karena material pembangun
maujudku kurang bersinar dibandingkan yang lainnya terpajang pada etalase. Walau
banyak pemberontakan, gadis itu luluh ketika sang wanita membujuknya dengan
segala jurus.
“Dasar manusia, kau tidak bersyukur!”umpatku kesal.
Berniat meminta tolong, aku tidak bisa. Bahkan melangkah pun
aku tak mampu. Akhirnya, aku menerbangkan bendera putih, yang berarti wujudku
kini telah menggantung diantara kulit putih nan kusam sang gadis.
Sejak pengadopsian yang setengah hati kurelakan. Menahan setiap
cobaan ketika gadis itu menggigit-gigit bagian rantaiku dan mengalir lender-lendir
menjijikkan yang keluar dari mulutnya.
“Sungguh menjijikan! Gadis bodoh jangan! Berhetilah, hey! Hey!
Berhenti!” Itu yang selalu kulakukan, berteriak tanpa ada yang mendengar.
Mungkin Tuhan mengasihaniku, semakin umurnya bertambah, gadis
itu perlahan berubah. Maksudku berubah seperti anak lainnya.
Bertambah-dewasa-bertambah-pula-otaknya.
Yang ku tau, dia bernama Nala Anindyta. Sejak itu, aku tidak
lagi memanggilnya gadis bodoh, tolol, atau sebagainya. Karena itu terdengar
tidak sopan.
Dia cukup baik untuk gadis seumurannya. Membantu ibunya, dan
sedikit lebih bersyukur—kurasa. Mungkin ini gara-gara otaknya yang bertambah
besar. Namun ada sesuatu yang menjanggal, gadis itu tidak pernah kulihat
bermain bersama anak lainnya.
Mungkin saat gadis itu
bermain, aku sedang tertidur mengalung pada leher kusamnya.
Atau, mereka
benar-benar tidak ingin bermain dengan orang miskin?
Apa manusia memandang
status sosialnya?
Tapi yang kutau, Nala selalu menghabiskan waktunya untuk hal
yang lebih baik. Itu sudah cukup membuatku tersenyum mengalung padanya.
Semuanya berjalan baik, keluarga itu lebih berkecukupan dari
sebelumnya. Sampai sebuah kecelakaan merenggut kedua nyawa orang tua Nala.
Aku tidak melihatnya, karena saat itu aku sedang menghabiskan
waktu menikmati setiap harum buku-buku baru bergambar. Nala sering sekali
menangis, bahkan sampai kedua orang tuanya telah dikebumikan, air matanya terus
menjatuhiku.
Namun, dengan-sangat-tidak-bersimpatinya, aku malah mengatakan,
“Jangan bersedih kumohon, air matamu membuatku basah kuyup.”
Itu benar-benar diluar kendaliku. Mungkin karena kami
sama-sama kehilangan, membuatku hilang akal—aku ragu jika punya akal.
Tiba-tiba, Nala menarikku hingga terputus. “Kau tidak
mengerti! Kau hanya kalung murahan! Jadi diamlah!”
“Hey kata-katamu membuatku pedih, Nona.” Aku tidak sempat mengucapkannya.
Sebaliknya, aku terkejut dia bisa mendengarku, “K-kau bisa mendengarku? Hey….Nala!
Apa kau bisa mendengarku?”
“Sejak dulu, alasan mengapa aku tidak menginginkanmu, karena
aku bisa mendengarmu.” Nala berucap terbata dengan ingus yang hampir jatuh ke
bibirnya.
Dengan cepat, aku kembali menumpahkan isi rantai-rantaiku, “Kenapa
kau tidak mengajakku berbicara sejak dulu?” Kata-kataku terjeda. Mungkin jika aku manusia,
alisku telah menukik ke bawah. Mempertanyakan semua tindakannya.
“Kau membuatku seperti kalung gila, Nila. Harus mengomel
sendirian dan bertanya, tanpa ada yang menjawab!” Aku benar-benar menghakiminya
sekarang.
Gadis itu bergeming, wajahnya berbalik menatapku kesal. “Aku tidak
mau ikut gila sepertimu!” Intonasi suaranya yang tinggi membuatku sedikit skeptis.
Kudengar helaan nafas keluar lubang pernafasannya. Namun dia
tetap melanjutkan ucapannya berniat memberi penjelasan, “Maksudku, semua orang
akan mengira aku gila jika berbicara sendiri dengan kalungnya. Kau pasti
mengerti itu.”
Kata-katanya menyentil rongga-rongga rantaiku. Membuatku sadar,
kami memang harus saling terbuka. Aku tidak pernah mengerti pemilikku, karena
aku tidak punya jantung. Eh, maksudku
nurani, hati, atau apapun semua yang membentuk manusia pokoknya.
Setelah perbincangan yang rumit, kami bisa saling mengerti. Bahkan,
Nala memperbaiki rantaiku yang lepas dan membuatku terlihat lebih cantik dengan
sebuah bandul bersinar yang berisi foto keluarganya.
Saat itu pula sepasang suami istri mengadopsi Nala—termasuk aku
juga karena aku mengalung pada lehernya yang tidak kusam lagi.
Aku tau Nala sudah memiliki semua yang ia mau. Terkadang kami
saling bertukar cerita tentang hari-hari yang ia lalui—padahal saat itu, aku
kan bisa melihatnya.
Ya,ya… aku hanya menjadi pendengar setianya.
Namun ada sesuatu yang mengganjalku ketika Emas yang
mengalung pada leher ibunya mengajakku berbicara, “Hey, bung. Kau tidak malu tetap
mengalung pada leher orang kaya?”
Kata-katanya membuatku gamang. Aku memang hanya material yang
tahan karat, tapi tidak bersinar seperti Emas atau Perak. Puncak kegundahanku
bertambah, saat kedua orang tua Nala mengajak gadis itu pergi ke toko
perhiasan.
“Apa ini akhir dari
hidupku dengannya?”
Aku mendengar semuanya. Nala melihat semua perhiasan itu
dengan mata berbinar. Dan memuja mereka.
“Sudahlah, sekarang
saatnya berpisah.”
Semua kata-kata kerelaan sudah kugumamkan. Jika aku punya
hidung, mungkin aku sekarang sudah menghela nafas berkali-kali. Seperti banteng.
“Aku tidak mau, pa. Kalung ini lebih cantik.”
Ucapannya membuatku jatuh hati. Dia benar-benar Nala ku.
“Aaaaa….Aku menyanyangimu, Nala!!”
Manusia mengatakan kondisiku sekarang adalah bahagia. Kalau bisa,
aku mungkin sudah berteriak-teriak seperti fans yang meneriaki idolanya saat berada
pada panggung konser.
Tapi itu tidak berlangsung lama. Maksudku kegembiraan Nala
tidak dapat kutangkap saat dia berada di sekolah ataupun tempat ramai lainnya. Yang
dapat kutangkap, dia selalu sendirian dikelas. Seperti saat dia berada sekolahnya
dulu. Atau rumah kumuh tempat tinggal mereka.
Menyendiri dalam perpustakaan atau apapun yang bisa
membuatnya nyaman. Aku tau, Nala bukanlah anak yang bodoh, namun dia sepertiku
mungkin sedikit skeptis dan pesimis, juga ada beberapa bagian darinya yang
sarkastis. Kurasa ada kesalahan padanya.
Kukira manusia akan menjauhinya karena dulu memang dia anak yang
miskin. Dan manusia adalah makhluk yang memandang status sosial. Namun tetap keadaan
itu tidak berubah, walaupun kakinya sudah menjejak lantai pualam mewah.
“Kau tidak ingin bermain?” ku coba mengorek lebih dalam
tentang kesendiriannya kali ini.
Nala hanya membalas seadanya,“Aku tidak mau.”
“Kenapa? Seharusnya anak kecil sepertimu senang bermain
bersama teman-teman lainnya.”
“Mereka tidak mau bermain denganku.”
“Hey, kamu belum mencoba berkenalan dengan mereka.”
Aku tau, aku terlihat seperti orang tua yang memberi nasihat
pada anaknya. Tapi setidaknya aku tidak ingin melihat Nala selalu sendirian. Bagaimana
jika aku tiada, dan Nala kesepian?
Walaupun aku tidak yakin kalau aku bisa mati.
“Aku ragu.”
“Ayolah ini sangat mudah.”
Ku tatap dari bawah dagunya mencoba keberanian. Bel masuk
masih lama. Maka Nala bisa bermain bersama yang lainnya.
Namun dapat kulihat, ketika Nala mendekati mereka. tidak ada
satu pun yang mengajaknya bermain. Bahkan mengajaknya berbicara. Aku tau,
ekspersi mereka sedikit aneh saat Nala mendekatinya. Aku tidak bisa mengingat
semuanya. Yang ku tau, Nala menangis untuk kesekian kalinya.
“Jangan terlalu diambil hati. Mereka memang jahat.” Kucoba menghibur
Nala. Aku baru sadar, jika Nala tidak memiliki teman sebangku untuk ia ajak
berbicara selain aku.
“Kan, sudah kubilang! Tidak ada yang ingin bermain denganku!”
Nala berteriak kesal.
Aku butuh aspirin untuk memikirkan kehidupan Nala. Dia manusia,
dan dia harus bersosialisasi.
***
Beberapa waktu berselang, seorang anak lelaki bernama Rafa membuat
rantai-rantai berfikirku terbuka. Tepat saat ia mengisi kekosongan bangku di
sebelah Nala. Anak lelaki itu terlihat cukup ramah. Namun ku tau, Nala gadis
yang pendiam. Bahkan acuh.
Hingga setiap hari ku dengar anak lelaki itu mengajak Nala
berbicara, sampai bercanda dengannya. Tidak semua dapat kudengar karena aku
memilih tidur. Tapi sebelum itu aku mengingat sesuatu. Rafa pernah mengatakan, “Aku
kira kamu menakutkan, tapi aku tau sekarang. Kamu hanya kurang tersenyum. Semua
anak-anak menjauhimu karena orang-orang akan terlihat buruk ketika tidak
tersenyum. Coba dekati mereka dan tersenyum ramah.”
Awalnya ku ragu, Nala dapat menerima itu. namun semuanya
berubah ketika dia mencoba lebih ramah dari sebelumnya. Dia Nala ku yang
tersenyum.
-------------------------------
Setiap kesalahan dalam pengetikan adalah perbuatan yang tidak di sengaja. Manusia tidak luput dari dosa kawan.
BANTU JADI PROOFREADER!!!
1 komentar
Smile 😊
ReplyDelete