Apel Merah untuk Lala

Friday, August 07, 2020

 Sebuah kastil besar berdiri megah, diantara derunya suara ombak yang menghantam karang, juga syahdunya angina yang mengalun kala malam. Seorang gadis kecil tengah berdiri, bertumpu pada tongkat kecil, diantara rimbunnya rumput hitam, juga pepohonan besar berwarna kekuningan.

"Lala!" terdengar, seseorang memanggil gadis itu dengan riang. Membuat kedua langkahnya berlari menghampiri sang pemilik suara.

"Bunda!" Aku akan bermain bersama wendy." ucap gadis itu , setengah berteriak, membuat seorang wanita yang sejak tadi sibuk dengan tanamannya beralih, menatap dengan sebuah senyuman simpul ia berikan, menyiratkan kata -tak apa, bermainlah sesukamu.

Gadis itu-Lala, berbalut gaun merah bermanik permen-permen kapas manis, ditemani sepatu yang selaras dengan warna gaunnya-terlihat riang berlari-lari kecil menghampiri gadis kecil ditepi gerbang besar rumahnya.

"Ingin bermain dihutan?" Anggukan kecil Lala membuat keduanya tersenyum senang. Jemari lentik itu saling menggenggam, dan melangkah menjauhi kastil besar.

Mereka hanya berdua, selalu. Bahkan sejak pertama kali Lala menginjakkan kakinya pada kastil besar itu, Wendy selalu menemaninya bermain. Pasir pantai, hutan berry, ataupun taman kecil menjadi tempat mereka bermain bersama, tanpa harus cemas akan betapa berbedanya mereka diantara penduduk lainnya.

***

"Kena deh kamu!" teriak seorang gadis dari balik punggung Lala. Membuatnya terlonjak kaget.

"Huh, kamu tidak mencariku?" tanya wendy kesal. Mata bulatnya terlihat sempurna tertimpa cahaya matahari.

Gadis itu mengelak, sejak tadi mereka bermain petak umpet. Dan tidak menemukan wendy disetiap sudut tempat mereka bermain.

Wendy memang seorang gadis yang mahir menghilang dari pandangan.

Setiap senja, Lala harus kembali pulang, sebelum sang bunda memarahinya karena tidak patuh akan peraturan. Tapi, memang setiap senja sudah hadir, semua yang ada terasa kelam. Dan Lala tidak boleh berada diantara gelapnya malam. Walaupun keesokan harinya, bahkan lusa, wendy akan datang untuk menemaninya bermain apapun.

Namun keesokan harinya gadis itu memang menghilang dari pandangan. 

"Bunda, aku akan menyusul Wendy kehutan." Ucap gadis itu disela ciumannya yang mendarat pada pipi sang bunda.

"Bukankah biasanya wendy yang datang kemari?" tanya bunda penasaran.

"Tidak, mungkin ia lelah harus mengantar jemputku setiap hari." Senyum Lala mengembang lebar. Kini sepatu kecil biru dengan gaun yang selaras ia kenakan menuju hutan yang terletak di sebrang sungai.

"Dah bunda."

***

Hari itu, awan terlihat mendung, namun tidak turun tetes bening. Hanya buram menghiasi langit. Ditemani rimbunnya pohon berry, Lala terduduk diantara batu pualam oval dengan tumbuhan sulur mengikat. Hanya ada dirinya dan seekor kucing gembul disampingnya.

"Hai oyen," ucap lala riang.

"Kau tau wendy dimana? Eum? Kau tau oyen?" lanjutnya bertanya, sambil kedua tangannya menarik kaki kucing berbulu lebat tengah duduk disebelahnya.

Kucing itu tidak menjawab, walaupun kakinya ditarik oleh Lala dengan gemas. Kucing itu kesal, kedua kakinya ditarik oleh gadis yang berada disebelahnya, tanpa mengeong, kucing itu menjauhinya dengan cepat.

"Kemana wendy?" gumam gadis kecil itu. 

Hingga sore menjelang, bahkan senja hampir tenggelam. Wendy tidak lagi hadir.

Esok, lusa, ataupun sampai hari ketiga, gadis itu tetap tidak terlihat dimanapun Lala berada.

***

Ini hari keempat, Lala mengunjungi pantai, demi mencari wendy. Dan ini keempat kalinya bibirnya berbohong pada bunda, bahwa wendy akan datang menghampirinya.

Mata gadis itu terlihat sendu, menghela napas untuk kesekian kali, kecewa karena apa yang ditunggunya tidak akan pernah kembali.

Langit meneteskan rintik bening diantara tetes kekecewaan Lala untuk tetap menanti. Bahkan janji wendy selalu terngiang dipendengarannya. Membuatnya kini kesepian untuk kesekian kalinya. Tidak ada anak yang mau bermain bersamanya. Bahkan fikirannya beralih, bahwa wendy tidak lagi, ingin bermain dengannya.

"Oyen, tidak ada yang ingin bersamaku lagi, selain bunda." ucap gadis itu sedih, tangannya kini masih mengusap kucing gembul berwarna oranye dipangkuannya.

"Ayo bermain bersama." ucap seseorang dari balik punggung kecilnya.

Tubuh Lala dengan cepat berbalik, menatap seorang anak lelaki dengan pakaian lusuhnya melangkah mendekati tempat duduknya.

"Aku tidak mau, kamu bukan Wendy." ucap gadis itu ketus. Tatapannya beralih, berdiri, berusaha melangkah pergi.

"Aku bisa menjadi Wendy." Elak lelaki itu mengejar langkah Lala yang mencoba menjauhinya.

"Aku tidak butuh kamu." Lala berlari. Begitu jauh, membuat anak lelaki itu menghentikan kakinya.

***

"Lala!" teriak seseorang dari balik gerbang perak.

"Lala? Dia teman barumu?" Bunda bertanya, menatap anak lelaki yang kini berdiri dengan sebuah bingkisan kecil ditangannya yang terus menaggil nama Lala.

"Tidak! Dia bukan temanku!" ucap gadis itu, kesal. Namun kakinya tetap melangkah, mendekati pintu gerbang perak.

"Mari bermain? Aku membawa cokelat hari ini." Senyuman anak lelaki itu mengembang lebar, membuat kedua matanya telak membentuk bulan.

"Aku tidak mengenalmu! Kamu bukan temanku, jadi jangan bermain denganku." ucap Lala ketus, matanya menatap anak lelaki dibalik gerbang peraknya itu lamat-lamat.

"aku, aku Esok," Anak lelaki itu menjulurkan tangannya ramah.

Lala tetap tidak menerima uluran tangannya.

"Bukankah teman berawal dari perkenalan? Aku sudah mengenalkan namaku, siapa namamu?" lanjut Esok ramah. Walaupun tangannya kni hanya menggenggam udara kosong. Tapi senyum ramah itu tetap ia ulaskan.

Tetap tidak ada jawaban.

"apa aku terlihat menakutkan?" tanya Esok, lagi.

Gadis itu hanya menggeleng pelan. Wajah anak lelaki itu cukup baik, lebih baik saat dia tersenyum. Bahkan sangat manis.

"Ingin makan cokelat bersamaku? Bibi membuat sekotak penuh hari ini." Esok menawarkan bingkisan berlapis kain biru yang ia bawa, dari balik gerbang perak.

Namun gadis itu kembali menggeleng pelan. Walaupun esok terlihat baik, gadis itu belum bisa menerima hadirnya.

"Eum, kamu tidak suka cokelat ya?" bibir Esok terus berucap, berharap gadis dihadapannya kini mau menerimanya.

Dengan cepat gadis itu menggeleng keras. cokelat sangat manis, walaupun senyum Esok terlihat lebih manis saat ini. Perlahan, gerbang itu tertarik dari dalam, membuat Esok kembali mengembangkan senyumnya lebih lebar.

"Aku hanya kasihan, masuklah." Gadis itu berlalu mendahului langkah esok yang perlahan mendekati tubuhnya.

Beberapa saat mereka hanya berpandangan.

Lala bukannya tidak menyukai hadirnya orang baru, tapi dirinya hanya takut, jika Esok akan berakhir seperti Wendy, meninggalkan dirinya.

Esok tidak bisa menyembunyikan raut riangnya. Kini langkahnya bahkan terlihat sangat senang dengan mulut yang tidak berhenti bertanya, atau memuji kastil besar dengan taman luas yang dimiliki keluarga Lala. "Apa kita sekarang berteman?"

"Tidak."

Gadis itu hanya berperasaan, melihat esok terus berdiri diambang gerbangnya, membuatnya merasa kasihan.

"Baiklah, akan kucoba besok." ucapan anak lelaki itu terdengar menyakinkan.

"Maksud kamu?"

"Setiap hari aku akan kesini, dan bertanya lagi apakah kita adalah teman. Jika kamu tetap menolak, aku akan terus bertanya lagi, dan esoknya lagi, sampai nanti."

"Nanti?"

"Nanti itu sampai aku belum tiada."

Ucapan itu membuat lala terdiam. Wendy seperti esok, tidak ada yang ingin menyerah menghadapi sikap Lala kala pertama mereka bertemu.

"Aku tidak peduli."

*** 

Apa yang esok ucap, bukan hanya bualan belaka. Besok, lusa, bahkan hari-hari sesudahnya lelaki itu datang membawa apapun yang ia dapat. Dan memberikannya pada gadis itu. namun berkali-kali memberi, berkali-kali gadis itu menolak. Tanpa penerimaan yang berada, Lala tidak pernah menyebutnya teman, walaupun Lala selalu tertarik bermain dengan anak lelaki tampan, berbaju lusuh itu.

Wendy menjadi masa lalunya, karena gadis berkepang pirang itu tidak pernah hadir lagi, setelah senja berganti kala dirinya menunggu seharian dihutan. tidak ada yang tau dimana wendy, bahkan Lala melupakan wendy untuk kembali bermain bersama esok.

"Tadaaaaa!" Esok berseru riang. Sulap yang ia tunjukkan pada Lala membuat mata gadis itu menatapnya kagum.

"Kau hebat Esok!! Lagi, lagi aku ingin melihatnya lagi." Senyum riang gadis itu selalu hadir, saat esok bersamanya. Bahkan setiap waktu bersama Esok terasa berharga baginya.

Kini, anak laki-laki itu mengambil sebuah batu berlian dari balik tas hitamnya, dan menutup seluruh permukaan batu itu dengan kain merah.

"Apa yang kamu inginkan putri cantik?" Esok bergaya seperti seorang pesulap profesional yang menannyakan, permintaan apa yang ingin Lala kabulkan.

"Apel merah! Aku ingin apel merah seperti gaunku!" Lala berseru riang, tawa kecilnya memenuhi tempat mereka bermain ditengah hutan.

"Baiklah, sebuah apel merah, datanglah pada putri cantik ini!" ucap esok dengan bangga.

Tring!

Kain merah itu tertiup angin.

Tangan Esok mengambil kainnya, membuat permukaan benda dibawahnya terlihat dengan jelas.

Sebuah apel merah besar nan lezat, kini berada digenggaman esok. 

"Uwahhh!!!!!" Lala berseru riang, apel lezat itu kini memenuhi fikiran Lala, berharap untuk bisa ia lahap saat itu juga. 

Tangan lala terulur, meminta apel merah yang berada digenggaman esok.

"Eitss!" tahan Esok, dengan cepat apel itu ia sembunyikan dibalik baju lusuhnya.

"Yaah, kenapa?" Lala terlihat kecewa, menatap apel itu hilang dari hadapannya.

"Kamu mau ini?" tanya esok. Senyum kecil mengembang diwajahnya.

Gadis itu hanya menggangguk patuh mengiyakan ucapan esok.

"Berarti, sekarang kita berteman?" lanjut esok.

Dengan cepat gadis itu megagguk mengiyakan ucapan esok kembali.

"Yes!!" Esok mengambil apel dari balik bajunya, apel merah besar itu dengan cepat sudah berada digenggaman Lala. Dan dalam sekali lahap, Lala menggigit bagian permukaannya. 

"Bagaimana rasanya?" tanya esok penasaran.

"Enak eum, enak se.." 

Belum usai ucapannya, gadis itu menutup kedua matanya. Tubuhnya jatuh diantara rumput-rumput yang perlahan berubah hitam. Kantuk itu, kini telah mengubah pandangannya terhadap Esok, lelaki tampan yang sudah beberapa hari minggu ia kenal.

"Aku baru mendapatkan teman, dan ia sudah kembali pergi tertidur?" ucap esok disela senyum miringnya. Wajah tampannya kini terlihat menyeramkan dengan debu-debu emas mengelilingi tubuhnya.

"Benar bukan gadis cantik? Ah salah, kamu bukan seorang gadis. Dua peri sudah pergi, aku masih membutuhkan beberapa lagi." 

tangan Esok terangkat, juga debu-debu perak disekitarya menyelimuti tubuh Lala dengan sebuah apel merah yang tergeletak disebelahnya. 

Kini sebuah lorong bercaya hadir dihadapan Esok, kedua kakinya melangkah mendekat, disamping kedua tangannya yang tidak beralih dari tubuh Lala, debu-debu perak itu membuat tubuhnya juga Lala mengambang, dan sedetik kemudian mereka menghilang dari tengah hutan.



You Might Also Like

0 komentar

About Me

Like us on Facebook

Popular Posts

Instagram