AOIFERGIELAR

Saturday, August 29, 2020

 

Permata biru

Raganya mencari.

Ketika dapat, ia tetap mencari, lagi.

Tujuannya pergi, namun kembali untuk hal yang tidak pasti.


Lelahkah dirimu?

Tuan berhentilah, kau akan terluka

Layaknya abdi, kau tak ingin bersantai kembali.

 

LELAKI itu berdiri diantara senja yang memudar, juga gelap yang hampir sampai.  Matanya kelabu laiknya kuarsa, dengan iris yang memukau. Selaras dengan lekuknya yang tampan nan tegas. Terlihat tanpa disuasi.  Namun seperti konser musik ternama, diantara kaki jenjangnya itu terdapat asap tipis tak berbau amis.

“Bagaimana?” ucapnya lagi.

Bukan Lara yang tidak ingin menjawab. Awal dari keraguan, lalu bibirnya diam membisu. Kemudian, berakhir seperti orang yang gagu.

Pandangan mereka saling tertuju, laiknya sinetron-sinetron di televisi, ketika dua insan saling jatuh cinta pada pandangan pertama. Lara tidak berkedip saat melihat sosok yang ada di hadapannya dengan setelan rapih, layaknya pelamar kerja yang berdasi.

“Hey, apa kau tuli?” Lelaki itu mengerut, alis tebalnya hampir bersatu, sambil melambai-lambaikan tangan didepan wajah Lara.

Tidak ada jawaban. Lara masih terdiam.

Mungkin ini kesempatan emas untuknya bisa kembali menjadi seorang anak perempuan yang tidak kekurangan.

Mengurangi ejekan orang lain, mengenai dirinya adalah anak buangan.

Membahagiakan diri sendiri dengan memutar balikan kenyataan.

Saraf-sarafnya terus berkerja. Menimbang, namun tidak terbang. Menatap wajah tegas dihadapannya dengan lamat. Mencoba mencari tau apa yang akan dilakukan ketika ia berucap setuju, atau sebaliknya.

Akhirnya sebuah keputusan telak mencoba naik kepermukaan bibirnya, sebelum..

“Kak, Lara! Tiutiutiungggg….!!”

Entah sejak kapan pagar depan itu bisa dimasuki. Satu fokusnya berubah pada Dinot, bocah kecil berkulit cokelat dengan kepala yang  baru saja di botak—ikut dipangkas habis seperti Nala (ada di bab sebelumnya).

“GOSONGGGG!!!!!”

teriakan itu menyusul, tepat dari belakang Dinot yang sedang bersepeda (walaupun tidak terlihat seperti bersepeda, karena anak itu menggotong sepedanya sambil berlari) seperti topeng monyet yang biasa Lara saksikan di lapangan Togel. Anak laki-laki itu, bersikukuh menghindari perempuan berdaster yang mengejarnya.

Dinot pun, berputar-putar. Tentunya dengan sepeda kecil yang masih ia angkat.

Dapat Lara tangkap bahwa perempuan itu adalah Serpih—kakak Dinot, bibirnya terus berucap meminta maaf atas kelakuan adiknya yang tiba-tiba masuk ke halaman belakangnya.

Lelaki berdasi itu tidak bergerak sedikitpun. Namun ia tau, semua orang dapat melihatnya kecuali, Serpih.

Beberapa detik kemudian, Serpih kembali mengeluh. “Yaampun gosong, balik cepetan!”

“Ngga mau!”

Keduanya tidak ingin berhenti. Kembali, Serpih mengejar anak lelaki yang ia panggil gosong tadi. Berharap ada keajaiban, bahwa Dinot akan menghentikan kelakuannya.

Terlihat jelas, dahi lelaki itu berkerut. Kemudian menatap Lara dalam diam namun menyiratkan, bisakah kita berdua saja, tanpa mereka?

“Dinot, udah atuh udah,” Lara mengambil tindakan.

Tangannya mencoba meraih bahu Dinot yang semakin dekat dengannya. Namun badan kecil itu melesit tajam. Disusul oleh Serpih, yang berlari dibelakang Lara.

Kini mereka lari bersama-sama (kecualikan lelaki tadi), dengan Serpih yang tidak berhenti berteriak-teriak tepat pada telinga Lara. “Gosong! Heh gosong malu ih, malu!”

Anak lelaki itu tidak kenal lelah.

Efek domino hadir ketika Dinot tiba-tiba saja terjatuh menabrak lelaki yang sejak tadi berdiam diri. Kecualikan Serpih, karena dia hanya melihat Dinot jatuh tersungkur dengan roda sepeda yang masih berputar.

Disusul Lara dan Serpih yang saling menimpa. Membuat bunyi benturan yang keras.

Aduh

Aduh aduh

Aduh aduh aduh

 

“APA-APAAN INI!!!”

Teriakan itu penuh amarah, dan kekesalan. Disusul burung-burung yang terbang menjauhi pelataran halaman.

Sejak awal Lara akan menyangka, bahwa lelaki yang tertimpa paling dasar akan berteriak kesal. Namun semua persepsinya salah. Ibu Asap kini hadir dengan sebuah gayung besar ditangannya.

Dengan tergesa, Serpih hendak menjelaskan.“Eh ibu, ini Dinot tadi..”

Sebelum terjadi pembelaan diri, ibunya sudah berteriak kesal. “Udah-udah pulang sana! Magrib gini main lari-larian. Ntar diculik wewe, tau rasa kalian.”

Ibu Asap mengomel seakan ini rumahnya dan mengusir semua orang yang berada di halaman rumah—pengecualian lelaki tadi, karena sekarang tidak Lara liat lagi batang lehernya.

Wajah terakhir yang Lara lihat dari lelaki itu, tidak terlalu menyenangkan untuk dilihat. Karena selain ada marah, kesal, dan sakit ketika terjepit oleh tiga orang ditambah sepeda.

Dinot berdiri begitu juga sepedanya. Berniat memberi tau, itu sepedanya dituntun aja, Not!

namun bibirnya tetap bungkam melihat gayung yang ibu Asap genggam.

Serpih sudah lebih dulu keluar gerbang dengan kekesalannya. Namun saat Lara melihat Dinot sampai pada lantai pualam, ibu Asap menumpahkan segala kekesalannya.

Byurrr

Guyuran pertama pada tubuh Dinot, membuat sang korban penyiraman itu bergidik. Angin sore bertiup kencang menerpa tubuh cokelatnya. Membuat tubuhnya seperti terkena air es.

Byurrr..

Ternyata masih ada persediaan air disamping ibu Asap. Yang Lara kira itu hanya segayung, ternyata bergayung-gayung.

Kini tubuh Dinot benar-benar basah kuyup, dengan gigi yang bergemeletuk.

Byurrr…

Tanpa ada rasa iba, ibu itu tetap mengguyur anak sambungnya.

Guyuran ketiga sang ibu sudah puas dan berkata, “Biar ngga usah mandi lagi, pulang-pulang kamu tinggal ganti baju.”

“Allahu mak!”

Lara bergeming menatap Dinot dengan iba. Namun anak lelaki itu menikmati tiap guyuran dari sang ibu. Berbalik dan menatapnya, berniat untuk mengatakan, Ngga papa, kak. Asik loh!

Kejadian itu menewaskan para semut merah yang berada pada kaki Dinot, mereka meregang nyawa, karena tidak bisa berenang diantara genangan air yang terus mengalir menghantarkan jasad-jasad kemerahan tanpa dosa yang menyertakan.

Lantai rumah Lara terlihat becek dan kotor. Tanpa perasaan bersalah, ibu Asap mengapit tangan anaknya untuk ia seret seperti tawanan penjara. Meninggalkan gayung yang dapat Lara tebak, gayung itu berasal dari kamar mandi tamu, rumahnya.

Kini tersisa Lara sendirian. Desiran angin sore diiringi suara adzan yang mengalun, menemani kesendiriannya. Dan jangan lupakan kue yang sudah hancur ikut terguyur. Juga lilin yang telah kalah oleh angin, bukan dari mulutnya.

Desahannya lolos.

***

Rumah dengan ruangan banyak, layaknya kos-kosan. Membuat Lara tidak merasa terhimpit sekaligus juga, kesepian. Karena hanya dia dan Nay yang menghuni. Namun sejak kejadian berdarah saat ia masih berumur 12 tahun, semuanya berubah.

Saat semua teman-teman hadir, ketika ulang tahunku yang eum, ntah keberapa. Disitu aku masih polos nan tolol, untuk sekadar menghitung jemari. Padahal umurku, sudah dapat mengenyam jenjang sekolah dasar.

Beralih pada tahun selanjutnya, aku bisa menghitung. Namun hanya sampai 10 karena otakku terlalu lamban untuk berfikir. Lalu ulang tahun-tahun yang selanjutnya, saat aku tau usiaku adalah 12 tahun, semua teman-temanku hadir lagi. Menyanyikan lagu yang membosankan, juga puncaknya pada peniupan lilin yang sangat kunantikan.

Namun tidak, ketika Dipta datang. Awalnya setiap ulang tahun, Dipta ‘lah yang kunantikan.  Tapi sejak kami berada pada kelas yang sama. Sejak saat itulah Dipta selalu mencelakakanku. Mulai dari sepedaku yang kehilangan roda depannya, juga tasku yang sampai saat ini tidak ditemukan keberadaannya. Atau ucapannya tentang hantu lelaki dewasa yang selalu mengikutiku.

“La, kenapa ngga mau keluar?” Mama mencoba membujukku.

Mama tau, karena aku sering bercerita kepadanya. Bahwa, Dipta sering mewarnai hari-hariku dengan kenakalannya.

Berniat mengeluarkan kekesalan yang ada pada hatiku dengan berkata, kenapa Mama harus ngajak Dipta kesini?! Atau kok dia kesini sih, Ma?!

Namun berakhir dengan aku yang hanya mengucap, “Takut, ma. Lala ngga suka liat, Ndut.”

Sambil mencebikkan bibir. Mataku menatap lamat cermin yang ada dihadapanku. Yang tengah menampilkan wajahku-yang-terlihat-sangat-jelek-sekali.

“Ndut siapa eh?”

“Dipta.”

Mama hanya ber-oh , ria. Mengerti bahwa aku mengganti nama anak kampret yang sering dielu-elukan oleh banyak gadis di sekolah itu dengan sebutan lain.

“Oh, ganti nama ternyata. Padahal Ndip dateng kesini, mau ngasih kado buat kamu.”

Mama mencoba mengeluarkan jurusnya. Aku menerka, Dipta hanya mendatangi rumahku karena kami bertetangga. Ibu Dipta pasti memaksa anak sulungnya untuk hadir dalam pesta ulang tahunku. Padahal, tanpa dia, pun. Aku tidak akan kesusahan, atau mencari sosoknya diantara wajah-wajah lugu teman komplekku yang lainnya.

Aku tidak akan terbuai lagi. Dipta pengecualian atas segala kelemahanku melawan mama. “Buat Mama aja. Abis itu suruh pulang kadonya!”

Diluar sana kulihat teman-temanku telah pergi keluar gerbang dengan menggenggam bingkisan lucu pemberian Mama. Namun ‘tak kulihat Dipta disana.

“Mungkin saja, dia malu karena aku mengusirnya tadi.” Gumamku dalam hati.

Dengan cepat kubuka pintu kayu yang berlapis warna roze, dan berharap menemukan mama untuk kugeret ketengah ruangan keluarga, demi membuka kado-kado yang terbungkus kertas berwarna.

Namun sial mungkin tandang padaku. Karena ketika ku buka pintu, sosok yang tidak kuinginkan hadir. Tersenyum lebar, menampilkan gigi-gigi putih nan manisnya.

“Selamat ulang tahun, Ra.”

Bukan Dipta, ini lebih parah dari anak lelaki kampret itu. Bahkan mama tidak dapat melihatnya. Wajahnya tampan, dengan garis-garis wajah tegas, mata hazelnya berbinar, dan warna kulit yang kecokelatan membuatnya terlihat lebih jantan.

“Kamu ngga suka?” lanjut lelaki itu. Tangannya menggoyangkan benda yang ada dipelukan itu dengan perlahan.

Seharusnya, seorang anak kecil akan senang jika diberi sebuah boneka beruang.

Bukannya menerima, aku lebih takut menatap beruangnya. Karena keduanya tidak bisa mama liat dan beruang itu lebih mirip jelangkung berbulu, “Aku tidak mau. Pergilah dari sini. Aku takut padamu.”

Harapanku agar lelaki itu tidak tersinggung ternyata terkabul. Wajahnya menatap mafhum jika aku takut untuk menatapnya. Namun ia malah menarikku kedalam kamar.

Jika aku teriak, seisi rumah akan takut. Jadi ku pilih diam.

Akhirnya aku hanya menurut, dan berharap semoga aku tidak meregang nyawa karena kasus pembunuhan yang dilakukan olehnya.

“Aku berusaha menyelamatkanmu, jadi jangan menimbulkan suara apapun. Oke?”

Dengan polosnya aku hanya mengacungkan jempol tanda setuju. Kami berdiri dengan posisi saling berhadapan. Kini dapat kulihat tubuhnya beberapa inci lebih tinggi dari tubuhku.

“Omong-omong, kau tidak mau boneka ini?”

Aku hanya menggeleng lemah. Ingin mengatakan boneka itu jelek, namun aku masih punya sopan santun.

Kulihat wajahnya sedikit mengeras. Menatapku lekat, namun tersirat iba dibalik iris matanya.

“Apapun yang terjadi, kamu harus diam dibalik lemari itu,” tangannya menunjuk seonggok kayu besar dengan pakaian yang menggantung.

“Jangan keluar sampai aku memanggilmu, oke?”

Dahiku berkerut tidak mengerti. Memang ada apa? Perayaan ulang tahunku telah usai, kenapa aku harus bersembunyi?

Sejenak lelaki itu mengepalkan tangannya. Sinar-sinar lembut berpendar dari balik jemarinya yang kasar. Wajahnya terlihat berkonsentrasi, diiringi peluh yang perlahan menetes.

“Sial, sulit sekali.”

Kudengar ia mengeluh, namun aku tetap bergeming menatap cahaya-cahaya yang perlahan meredup.

Sekali lagi, lelaki itu berkonsetrasi.

Kini cahaya yang semula berpendar, berubah. Memerah, lalu berpilin. Disusul debu-debu keperakan mengelilingi tubuh kami.

Dalam sekejap, aku menatapnya kagum. Namun suaraku tercekat seperti orang gagu.

“Akhirnya..” Ia tersenyum bangga. Senyumannya mengembang sangat menawan, lalu menular padaku.

Namun, senyumku memudar seiring sinar-sinar yang terbit membentuk tubuh seorang anak perempuan dengan gaun berwarna merah muda sedang tersenyum lembut.

Gadis-itu-seperti-aku.

“A-apa ini?” Aku mencoba memahami keadaan. Namun tak dapat kumengeri arah sirkus yang ia berikan saat ini.

Mungkin karena aku masih kecil dan tolol.

Dengan tidak sopan, jemariku terangkat dan mengarah tepat diantara matanya,“Dia?”

“Hay..” Dia juga bisa berbicara.

Bukannya mendapat jawaban, gadis dengan muka mencontekku itu tersenyum lebar dan menyerahkan tangannya untuk bersalaman.

Dengan takut dan marah, ku tepis tangannya dengan cepat.“Mama ngga pernah bikin aku yang kedua! Apa yang akan kau lakukan padaku?!”

Lelaki yang dapat kutebak lebih tua beberapa tahun itu, memilih untuk melihat jam tangannya yang terlihat kuno dengan jarum jam yang bersinar. “Pergilah kedalam lemari, nanti kujelaskan.”

“Tidak mau! Kau tidak boleh meninggalkanku dengan kembaran gadungan ini!” Aku tetap berteriak kesal. Tidak peduli setiap orang yang ada di rumah ini akan mendengarku.

“Lara? Kau tidak ingin kadomu dibuka sekarang?” suara mama membuat mataku membulat sempurna. Dan mengambil nafas panjang untuk segera berteriak. “MA—“

Tiba-tiba, lelaki itu mendekap mulutku dengan kedua telapak tangannya yang besar.”Ssssttt kita mainkan permain saja,”

“Kalau kau sembunyi sampai besok, aku akan membelikanmu apa saja.” rayunya dengan senyuman menyakinkan.

Aku tetap menggeleng keras, berusaha melepaskan dekapan yang semakin kuat.

“Kau mau apa?” tanyanya mendesah kasar.

“Mmmmm..mmm…mmmm…mm…” Aku sudah menjawab semua yang ku mau. Tentunya dengan tangan besar yang tetap membekap bibirku. Dan tanpa bertanya lagi, tubuhku didorong sampai memasuki lemari kayu.

Tidak dengan gadis contekan yang diciptakan lelaki itu.

Aroma khas jati menusuk rongga pernapasanku, juga baju-baju baru yang masih belum ku sentuh. Udara menipis di dalam sini.

Berniat menghilangkan bosan, aku mencoba menghitung baju-baju yang ada ada lemari itu.

Satu, putih..dua, merah…tiga, biru…empat, putih.. lima, merah.. enam, biru… eh abis enam tujuh apa delapan?

Yang ku tau, aku terlihat sangat bodoh disaksikan baju-bajuku sendiri.

Setengah jam mungkin aku terdiam di dalam lemari, setengah jam pula aku jatuh bangun—maksudku tidur dan kembali bangun.

Rasa bosan, juga leherku yang kaku membuatku berani untuk membuka pintu lemari. Rasanya bebas. Udara-udara segar segera memasuki rongga hidungku.

Namun senyumku pudar.

Ingatanku masih kuat, gadis contekan itu terbujur kaku dengan darah segar mengalir pada garis lehernya. Tidak sampai disitu, seketika tubuhku bertumpu pada kedua lutut dengan telapak tangan yang menutup bibir, ketika cahaya-cahaya lembut yang menciptakannya kini membuat tubuhnya hilang dalam sekejap. Juga darah-darah yang membasahi lantai.

Dapat ku mengerti. Lelaki itu membuatku tuli di dalam lemari.

Apa yang terjadi? Apa aku terlihat seperti ashabul kahfi yang tertidur di dalam gua?

Ah aku terlalu banyak dosa jika berhayal seperti mereka.

Pintu kamarku terbuka menampilkan lelaki dengan boneka beruang yang lebih indah. Cokelat atau krem, entah itu berwarna apa. Sekarang aku butuh penjelasan.

“Jangan keluar, tidurlah disini.” Dengan tergesa, pintu kamarku kembali menutup. Raut wajahnya terlihat tidak baik. Namun bibirnya tetap tersenyum.

Aku tidak sebodoh itu untuk membedakan senyum palsu seseorang.

“Kau ingin boneka beruang yang lebih bagus bukan? kemarilah, aku akan membacakan dongeng untuk menemanimu tidur.”

Tanpa memperdulikan tangannya yang menepuk-nepuk pinggiran kasur. Kaki kecilku bisa gesit untuk lari keluar kamar dan melihat semuanya.

Kudengar peringatan dari mulutnya, namun tidak satupun yang aku indahkan sampai langkahku berhenti pada ruang dimana semua orang tergeletak dengan darah yang berbondong-bondong keluar dari nadi masing-masing.





You Might Also Like

0 komentar

About Me

Like us on Facebook

Popular Posts

Instagram